CERPEN: Keajaiban Hujan - PUSTAKA PUITIKA -->

CERPEN: Keajaiban Hujan

Langit mendung seperti memuntahkan doa-doa yang semula mengendap di surga. Membuat kuncup bunga merundukan kelopak-kelopaknya; kerikil-kerikil berkilat pada sapuan yang cemerlang; pagar-pagar menjadi pudar. Muram. Taman terlihat letih. Hilang gairah hidup. Bahkan setiap petak-petak halaman rumah warga yang sempit seolah meringkuk dalam gigil tirai hujan yang lebat. Dan lamat-lamat dari arah yang entah, mulai terdengar dengkung-dengkung katak. Hewan-hewan itu berpesta merayakan hujan yang mulai turun.

Kecipak air merincik, menggema dalam bahasanya yang lembut pada setiap sudut halaman. Terdengar gaib. Sore pun semakin menua. Dan hari menggelinding tanpa senja. Hanya pekat mendung, serta kesunyian yang pelan-pelan larut pada tampias hujan. Tiris. Pun, hampir sepanjang waktu di hari minggu itu, aku termenung di pelukan nenek. Aku hikmat mendengarkan kalimat-kalimat yang diucapkannya. Wanita itu tak henti mengisahkan tentang: rintik hujan dan malikat yang turun dari surga.

Pikiranku pun seolah diajaknya mengembara; mereka-reka ribuan doa yang menghujam ke bumi.

“Ketika hujan turun lekas berdoalah, Lastari,” kata nenek. “Setiap tetas air yang jatuh ke bumi selalu disertai oleh seorang malaikat dari surga. Ia konon menyertai doa-doa itu untuk dikabulkan.”

Adakan salah satu doaku di antara ribuan hujan itu? Bisikku dalam hati. Aku pun mulai membayangkan tentang hujan yang turun disertai para malaikat dari surga. Malaikat yang terbang di antara mega-mega; memenuhi bumi dengan menyebar rezeki kepada setiap mahkluk yang ada di dalamnya; menuai kebahagian kepada setiap insan yang hidup. Barangkali karena itulah hujan terkadang begitu menenangkan saat dilihat, atau hanya sekedar didengarkan.

“Apakah ayah dan ibu juga menyukai hujan, Nek?” Tanyaku tiba-tiba kepada wanita itu.

Wanita tua itu tercekat. Ia tak lagi bercerita. Wajah nenek mengeriput. Sepasang matanya menatapku: lekat dan dalam. Aku seperti melihat ada yang aneh di dalam manik matanya; terdapat sebuah kelambu hitam yang menutupi suatu rahasia. Kalis. Aku meraih tangan nenek yang dingin, dan mengenggamnya erat seiring dengan kilat petir yang mengerjab. Sigap pula nenek meraih tubuhku, syahdan memeluknya. Petir menggelontorkan gemuruh yang nyaring.

Suasan kembali hening. Hanya ada suara hujan, serta desah napas nenek yang berat. Dan tanpa aku sadari, ada yang terjatuh dari tapuk mata nenek; basah, mengenai pipiku.

“Ayah dan ibumu begitu suka hujan,” kata nenek lirih dan sesak. “Mereka jatuh cinta ketika hujan turun.”

Aku hafal betul cerita tentang ayah dan ibu yang saling jatuh cinta ketika hujan. Nenek sering menceritakan kisah itu kepadaku sebelum tidur. Nenek juga menjelaskan: Kalau dahulu ayah dan ibu menikah saat hujan turun. Dan dapat dikatakan: Ayah serta ibu adalah sepasang kekasih yang tercipta dari keromantisan hujan. Namun setiap kali mengakhiri cerita-ceritanya, entah mengapa nenek selalu menangis. Ada sesuatu yang disembunyikan dari semua cerita itu.

“Apakah ayah akan kembali?” Tanyaku lagi di dalam pelukan nenek. “Aku ingin bermain hujan bersama ayah dan ibu.”

Nenek mengusap rambutku. Ia tidak menjawab. Ia malah khusuk melanjutkan ceritanya. Namun aku tak lagi mendengar kalimat-kalimat yang meluncur dari bibirnya. Aku hanya mendengar desah napas nenek yang tersengal. Bahkan ketika aku mulai mengantuk, kisah tentang hujan dan malaikat itu lenyap. Hanya ada isak tangis yang tertahan di dada nenek.

***
Semua kisah nenek sebenarnya berbading terbalik dengan kenyataan. Ibu tidak pernah menyukai hujan. Ia malah begitu mengutuk hujan. Ada banyak hal yang membuat ibu membenci hujan. Bahkan mendung yang murung itu sering mengingatkan ibu pada peristiwa muram belasan tahun lalu: ketika hujan merenggut ayah dari sisinya. Aku pun tidak tahu pasti ke mana pria itu pergi? Aku hanya melihatnya sekilas meleset; meninggalkan kami dengan para serdadu militer yang menyeretnya paksa.

Pada kejadian itu pun ibu hanya termenung sembari mengusap derai air mata yang terus berjatuhan di kamar. Ibu terlihat telanjang bersama para serdadu militer yang memaksanya untuk menemani tidur. Ayah lenyap, tidak pernah kembali lagi. Pun, ketika umurku kini telah lima belas, pria itu seakan telah lesap bersama tetes hujan terakhir yang menghujam ke bumi; mengering, seiring dengan ingatan gerasang di benakku. Hujan memang telah menorehkan peristiwa menyedihkan di dalam biduk kehidupanku. Khususnya ibu. Karena setiap hujan datang, sosok lemah dan lembut itu akan berubah garang.

Bila hujan turun ibu memang akan menyembunyikan dirinya sepanjang hari di dalam kamar; mengunci pintu dan jendela; tidak membiarkan seorang pun untuk masuk. Ia seakan tidak mau diganggu, bahkan oleh seekor kecoa. Di dalam kamarnya tidak ada seorang yang tahu apa yang ia lakukan. Namun dari luar selalu terdengar dengus napas yang tersendat, serta erangan panjang penuh kemarahan. Begitulah. Hujan seperti telah menjadi sumber malapetak bagi ibu.

Akan tetapi semua itu berbanding terbalik denganku. Aku begitu menyukai hujan. Saat melihat hujan, terkadang aku seperti melihat wajah ayah yang samar; yang sering luput bila diingat. Mungkin hanya pada hujan aku dapat mengingat ayah. Maka bila hujan tiba, aku akan memaksa nenek untuk menemaniku menikmati hujan. Kami berdua akan berlama-lama memandang hujan di serambi, sampai kemudian nenek menyuruhku berdoa.

Tanya nenek merekatkan tubuhnya di sampingku. “Apa yang kau minta, Lastari?”

“Agar ayah lekas pulang,” balasku.

Nenek melemparkan senyumnya ke arahku, menatap dengan sepasang mata yang berkaca-kaca. Ia mengusap rambutku beberapa kali; mengecup keningku, dan memelukku erat.

Tanyaku lagi kepada nenek. “Apakah Tuhan akan mendengarkan doa-doaku?”

“Tuhan pasti akan mendengarkannya,” cetus nenek. “Kembalilah berdoa. Semakin banyak kau berdoa, Tuhan pun akan lekas mengabulkan permintaanmu.”

Aku kembali berdoa dengan memejam. Aku berharap agar ayah lekas pulang, dan ibu tak lagi membenci hujan. Aku ingin melihat mereka bersatu seperti sebelum hujan datang, dan sebelum ayah dituduh oleh masyarakat sebagai pria tak beragama. Penghinat negara; karena melakukan makar politik di desa-desa bersama para petani miskin yang menuntut hak kepada tuan-tuan tanah.

***
Terkadang harapan tetaplah hal menjemukan yang tak menentu. Belum ada satu doaku yang terkabul. Tuhan seperti membeciku. Ratusan doa yang telah aku panjatkan seakan tak pernah bersambut. Dan hampir setiap musim hujan datang, aku tabah berdoa agar ayah lekas datang, serta ibu kembali bahagia. Namun kenyataannya: tak ada satu pun doaku yang terjamah. Ibu masih sering mengurung diri di kamar bila hujan tiba; meraung-raung dengan menghancurkan benda-benda.

Ayah pun tak pernah muncul sejak keributan itu. Ingatan tentang dirinya seperti semakin mengering di dalam benakku. Mungkin hanya sesekali aku mengingatnya; itu pun karena suara hujan. Begitulah. Bertahun-tahun aku berdoa, hingga tumbuh dewasa, tetapi Tuhan tetap tak pernah mendengar doaku. Bahkan pernah aku mencurgai kalau sebenarnya hujan yang turun itu bukan rakhmat dari Tuhan; melainkan sekumpulan doa-doa malang yang gugur dari surga karena tak bersambut.

“Apakah benar Tuhan datang ketika hujan tiba; membawa setiap doa yang akan dikabulkan dari surga?” Bisikku dari balik jendela. “Mengapa hingga kini tak ada satu pun doaku yang terkabul? Apakah Tuhan sama seperti orang-orang yang membenci kami? Menghindari doa-doa kami?”

Beberapa tahun kemudian nenek meninggal. Usia tua mengalahkannya. Dan aku tak pernah lagi mengaharapkan hujan sebagai sesuatu yang istimewa. Aku tak pernah menyelipkan doa-doa seperti dahulu. Semua itu aku anggap sebagai tahyul. Cerita yang diujarkan oleh nenek hanyalah penenang sementara untukku agar tidak terlalu risau memikirkan kemelut keluarga. Kini, setiap hujan datang, aku lebih memilih mengurung diri seperti halnya ibu di kamar; menikmati kesunyian yang diciptkan oleh rincik-rincik air hujan; meresapi setiap kemalangan yang datang memadatangiku.

***
Tiga tahun setelah nenek meninggal, ibu pun ikut menyusulnya. Ia meninggal masih dengan menyimpan kesedihan di dalam hatinya. Ibu musnah terkoyak rasa sepi dan sedih yang terus dieramnya sendiri. Ia mengakhiri hidup dengan memotong urat nandi tangan kanannya di dalam kamar. Aku pun semakin membenci hujan. Dan setiap kali hujan datang, aku akan menutup semua pintu serta jendela, kemudian mengurung diri seperti halnya ibu dahulu.
 
“Apakah sebenarnya Tuhan mendengar doa-doaku?” Ucapku geram. “Atau Tuhan telah meninggalkan dunia ini?”

Di luar hujan turun semakin deras. Angin mendesau; meningkah bunga-bunga, mengoyak keheningan yang mengedap di dalam kamar, dan mengetuk pintu serta jendela. Aku semakin erat merapatkan tubuhku di dalam kamar, menikmati kesunyian yang seakan mengental; memerhatikan kecipak titik-titik air hujan yang jatuh dari sebuah atap yang bocor. Tampias air itu terdengar merdu, mengalun bersama sepi. Bisu...

“Apakah benar ketika hujan turun malaikat ikut menyertainya?” Ulangku tak jemu. “Aku berharap dapat bertemu Tuhan hari ini.”

Aku terus memerhatikan titik-titik air hujan yang bertampias dari atap bocor. Hingga kantuk menjalar. Tetapi tak ada sesuatu pun terjadi. Hujan di luar semakin deras. Kesunyian pekat mendekap. Dan, tiba-tiba, seperti mimpi, aku melihat seorang yang melangkah dalam kegelapan. Dengan tenang ia duduk di sampingku, kemudian menatapku ramah. Aku memperhatikan wajahnya yang bersih. Penuh cahaya. Senyumnya menengkan. Tangannya hangat mengusap wajahku.

“Tuhan tak pernah meninggalkanmu. Ia bahkan selalu ada bersama orang-orang yang merasa kesepian. Seperti dirimu.”

Aku tak dapat bergerak. Tubuhku terasa begitu lemas. Aku melihatnya kembali menghilang di dalam kegelapan, dan disusul desing sebuah petir. Aku tergeregap. Aku lekas bangkit dari tidurku. Cepat mataku merayap menggerayangi ruangan dengan teliti; memerhatikan setiap sudut. Tak ada seorang pun! Siapakah sosok itu? Apakah Ia adalah malaikat? (*)

Risda Nur Widia: Belajar di Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa. Pernah juara dua syambera menulis sastra mahasiswa se-Indoensia UGM (2013), Nomintaro Sastra Profetik Kuntowijoyo UHAMKA (2013). Penerima Anugerah Taruna Sastra dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa; Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia (2015). Bukunya kumpulan cerpen tunggalnya: Bunga-Bunga Kesunyian (2015). Cerpenya telah tersiar di berbagai media.

Berlangganan update artikel terbaru via email:



Iklan Atas Artikel


Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2



Iklan Bawah Artikel