Dari Puisi Menuju Hakikat - PUSTAKA PUITIKA -->

Dari Puisi Menuju Hakikat

Mata Elang Biru
: Lasinta Ari Nendra Wibawa

......
Kerap kali kau memeluk dada yang mengasuh amarah
Sembari mengingat pentingnya menjaga amanah
Tak lupa kau sematkan ertus dari sucinya tanah
Berjanji saling memapah dan tak pernah goyah
.....
        Magetan, Februari 2014
 
Menulis menjadi hal penting dalam hidup Kinanthi. Ia begitu produktif memanfaatkan momen yang kemudian menjadi blueprint bahan tulisannya. Kepekaannya menerjemahkan sesuatu menjadi modal yang sangat baik. Terlebih lagi puisi dijadikannya sebagai hobi yang sudah tumbuh semenjak remaja. Jauh perjalanannya dalam bidang tulis-menulis.

Mata Elang Biru adalah salah satu kegiatan produktif yang telah berhasil merekam jejak kepenyairan seorang sastrawati Magetan ini dalam rentang waktu 2013 hingga 2014 yang telah dimuat ke dalam media cetak. DipAndang sebagai judul antologi ataupun judul puisi, sama saja. Frase "Mata Elang Biru" telah berhasil menyampaikan niat penyair untuk memberi sajian kemanusiaan yang ia persembahkan untuk Nendra. Kita akan menemukan beberapa puisi yang secara gamblang ia tujukan kepada Nendra. Salah satu puisi itu adalah potongan puisi di atas. Ungkapan penyair yang menuntut munculnya sikap feminis yang ditanamkan dalam puisi menjadikan orang yang membacanya ingin bermanja-manja. Maksud saya, puisi telah berhasil membawa perasaan pembaca.

Puisi Mata Elang Biru. Di dalamnya penyair menyampaikan apa-apa yang terjadi dalam hal rumah tangga. Ini adalah hal biasa. Akan terasa banyak menghabiskan waktu jika melihat puisi ini sebagai denotasi belaka. Kemampuan implisit demi menerjemahkan puisi Kinanthi agar kita mampu menyerap nilai kemanusiaan akan membuat pembacanya merasa telah mendapatkan sebuah rasa yang membingungkan, sekaligus rasa "wah" yang hadir di dalam benak pembaca.

Penyegaran-penyegaran yang ia letakkan di dalam syairnya terletak pada bunyi, tulisannya menghasilkan bunyi dalam pemaknaan implisit. Syairnya memunculkan unsur musikalitas, ini sangat menarik untuk dipertimbangkan, apakah ini puisi sebagai bahasa tulisan, atau puisi yang ditranskripkan yang bahan dasarnya adalah musik(bukan syair lagu). Karena, memang begitu adanya, puisinya ketika dibaca menjadi bunyi yang indah, ia menjelma menjadi gelombang. Seperti puisi lama, gurindam ataupun mantra. Strategi kebudayaan yang dilakukan Kinanthi untuk memunculkankembali puisi lama yang sejalan dengan zamannya saya rasa untuk cukup bisa diterima. Ia menghadirkan sajak a-a-a-a, atau a-b-a-b atau a-a-b-b. Saya rasa keberhasilannya menulis berada di sini. Kegiatan menulis, mengedit, mengevaluasi, dan mengedit kembali ia lakukan dengan sabar dan tekun. Menghasilkan karya yang luar biasa secara musikalitas maupun interpretasi.

Mari kita memperhatikan salah satu puisinya dalam antologi Mata Elang Biru. Sekaligus kita memperhatikan unsur bunyi dan pesan apa yang ingin ditawarkan.

Atap
Warna bernapas panas
Sesak oleh tanah berbahan puas
Tanah menyeruak menjadi merah bata

Menangkap abu pesta kembang api
Berteman dengan bagaskara dan aroma pagi
Atom hujan yang kerap berdenting
Di bawahnya aku makhluk kecil yang penting

Terkepung lingkaran
Memalak angin, panas dan hujan
        Surakarta, 29 Oktober 2013

Ia mengajak kita untuk menyadari, memahami dan untuk tidak lari dari kenyataan bahwa benda-benda di bumi secara universal dan hakiki memang dibuat untuk manusia. Tetapi manusia melupakan kehidupan dari kebendaan itu sendiri sebagai makhluk ciptaan juga. Kata "atap" secara pragmatik dapat digantikan dengan benda apapun, dari segi ini "atap" berhasil mewakili benda mati lain yang mungkin terasa hal biasa. Namun pesan kemanusiaan dapat di rasa jika menginterpretasi puisi ini secara rela dan sabar bahwa atap, pintu, pasir, laut, api, televisi, sepeda, komputer, kipas angin, batu atau apapun yang berada di alam ini mengabdi kepada manusia. Mereka tidak membangkang, tidak juga mengeluh. Hanya saja manusia yang melupakan esensi. Karena memang, zaman sekarang ini hal-hal filsafat tidak lagi kita sempat memikirkannya. Karena zaman "post modern" menuntut adanya efisiensi sekaligus efektifitas dan ekonomis mesti hadir dalam segala hal kegiatan dan budaya manusia zaman sekarang. Kehadiran atap sebagai manifestasi perasaan yang hadir sebagai tulisan menjadi catatan sejarah bahwa puisi "atap" telah mewakili pola pikir manusia zamannya yang memikirkan sesamanya secara materialistik, atau malah hanya dirinya sendiri. Artinya kepekaan mulai luntur dan orang-orang tua tidak berhasil menanamkan nilai. Kita mesti mati-matian mengikuti arus zaman dan melupakan hal yang lain. Hidup menjadi target. Sehingga keberadaan benda-benda lain terlupakan.

....
Menangkap abu pesta kembang api
...

Kehadiran kata "pesta" dapat kita ajukan makna sebagai kegiatan yang menyenangkan bagi manusia. Apapun dapat mewakili. Asalkan itu berkaitan dengan kesenangan manusia. Dalam keadaan seperti ini keberadaan atap (dalam makna luas) tetap setia hadir untuk kehidupan manusia. Ia tetap menghadapi waktu beriringan dengan manusia.

Masih dalam interpretasi makna "pesta", mari berhadapan dengan perspektif lain, berlawanan. Pesta juga berlaku pada saat musim peperangan, pesta perang. Pesta kembang api, api meriam, mesiu, maupun rudal. Semua tampak mengerikan. Bacaan-bacaan Anda mengenai zaman peperangan akan dapat memahami apa yang saya maksud. Dalam keadaan semengerikan ini pun atap tetap setia hadir dan hidup berdampingan menjalani waktu dengan manusia. Mungkin film "The Pianist" dapat mewakili imajinasi Anda bagaimana benda-benda menjadi sasaran tentara Nazi meluluh-lantakan umat yahudi. Sementara itu benda dalam kehancurannya tetap setia ada, artinya ia tidak secara langsung meninggalkan kehidupan manusia. Toh kemudian benda-benda yang hancur itu menjadi artefak sebagai bukti sejarah. Mereka tetap hidup memberikan manfaat.

Berjalan-jalan menelusuri makna dalam, adalah kegiatan kemanusiaan. Itu memang menjadi tujuan sastra. Ia mengajar, tapi tidak menggurui. Ia fleksibel terhadap aspek psikologi, sosial, dan sejarah pemakainya. Kita tidak dipaksa pintar, tapi cerdas masuk dengan sendirinya lewat perenungan, tidak mesti intensif. Cerdas pun masuk ke dalam diri sebagai tamu terhormat kemudian menjadikannya bijak. Sehingga sebisa mungkin kita layani ia agar tidak beranjak pergi. Atap menyampaikan kepada kita agar berfikir, dan mulailah akrab kepada seluruh alam. Tidak indiviualis, dan juga egosentris yang anarki.

Melihat lagi ke dalam potongan sajak di atas. Segala yang kita bicarakan di atas tadi ternyata hanyalah perolehan dari sisa-sisa. Seperti limbah. Tidak dapat kita pungkiri bahwa hampir keseluruhan kegiatan manusia menimbulkan limbah. Kegiatan industri, kuliner, pendidikan bahkan melaut pun menimbulkan bau amis sebagai limbahnya. Sisa-sisa kegiatan itu ternyata telah bersahabat dengan alam. Karena limbah telah ada pada zaman purba. Limbah tersebut berupa sisa makanan.

Nah, bagaimana dengan kata "limbah" sebagai asosiasi dari ungkapan "menangkap abu". Abu adalah simbol sisa, sisa-sisa kebahagiaan ataupun kesengsaraan. Suka atau tidak suka, abu, sisa-sisa, limbah mesti diterima oleh atap. Begitupula dengan benda lain secara pragmatis.

Alam ternyata telah berkompromi dengan limbah, mereka menyusun siasat untuk mengabarkan kepada manusia bahwa kegiatan mereka merusak. Maka muncullah bencana sebagai wujudnya. Bukan menghukum manusia, bukan. Mesti kita ingat, bahwa alam tunduk pada manusia. Bencana yang muncul semata hanyalah suatu bentuk kompromi yang lain kepada manusia agar manusia dapat lebih bersahabat lagi dengan alam.

Satu baris puisi di atas terinterpretasi menurut pandangan saya. Tentulah Anda memiliki pandangan lain tentang ini puisi. Bait-bait lain mendukung pada pusat pokok puisi di bait itu.

Atap sebagai puisi sangat kompleks untuk di bahas secara pragmatik. Pembahasannya akan mencapai banyak aspek. Aspek tersebut bisa jadi menyentuh ranah politik. Karena atap berada di atas dan posisinya lebih tinggi orang yang dinaunginya, namun kedudukannya lebih rendah. Ia hanyalah untuk melayani manusia di bawahnya. Bisa jadi atap juga ingin menyampaikan ini. Ia merindukan sosok pemimpin pemerintahan yang benar-benar memiliki konsep filsafat seperti atap (di luar pembahasan makna atap di atas), mengabdi pada rakyat sepenuhnya tanpa kepentingan-kepentingan.

Antologi Mata Elang Biru adalah sebuah ritual budaya. Sekali lagi, saya tekankan bahwa Mata Elang Biru merupakan kegiatan kemanusiaan, ia mengajari tapi tidak menggurui. Ada cerminan  kehidupan di dalamnya. Kinanthi  memasukkan banyak hal ke dalam antologi ini. Misal bidang Sejarah Filsafat Jawa.

Beberapa penggolongan jenis puisi ini mungkin akan membantu anda memahami antologi Mata Elang Biru ini.

- Tragedi
Saya mengatakan golongan puisi seperti ini disebut tragedi karena ada peristiwa yang  menyedihkan. Puisi-puisi itu adalah lembar usang nota wanita, suamiku tragedi  Mei, solo mmbunuh seraya tersenyum, penyair kami mati, seruling, ada orang, adiktif, mati suri, kopi air hujan, terlarang, kutukan puisi, dan bunga bunuh diri di Babilonia. Di dalam puisi-puisi itu akan di dapati gambaran secara deskriptif maupun naratif oeh kinanti. Misal dalam puisi Lembar Usang Nota Wanita, berikut potongan puisinya.

.....
Bayangan mereka berlari sendiri
Dengan tubuh diam kelam seolah mengamini
Penjarahan lubang tubuh paksa siang tadi
Perilaku binatang sejumlah pria yang tak dikenali
.....

Puisi ini mengilustrasikan suatu peristiwa pemerkosaan yang saat ini makin parah saja. Kinanthi mengabadikan tragedi ini lewat puisi. Ia memahami sudut pandang yang lain. Tak hanya pandangan dari korban, ia juga mampu melihat pandangan dari orang-orang yang hanya bisa memandangi saja sambil mencaci ataupun kasihan, namun tidak berbuat apa. Anda akan di ajak untuk menjadi peka terhadap suatu tragedi. Atau satu puisi lagi,

PENYAIR KAMI, MATI
…….
himne yang kami dengar amat busuk
memaksa kami mengangguk-angguk
jika tak tunduk
dada tertusuk
anak panah yang mencari induk
suara mereka haram
gema terbungkam
oleh usia temaram
terkenang bagai lilin padam
muka memucat muram
                    Surakarta, 1 April 2013

Memang, zaman sekarang bukanlah lagi zaman di mana pers dan kritik dilarang oleh pemerintah seperti zamannya iwan fals ataupun Pramoedya. Zaman sekarang adalah zaman di mana kebebasan berpendapat dimiliki setiap orangasal tidak mengganggu hak yang lain. Tetapi, pengekangan suara pada masa orde baru tetap sebuah tragedy. Pembunuhan di sana-sini dilakukan terhadap aktivis-aktivis dan kritikus politik. Kinanthi mengabadikan lagi tragedy itu dalam puisinya itu. Saya teringat pada seorang tokoh aktivis widjie thukul ketika embaca puisi ini secarakeseluruhan. Di mana tokoh tersebut karena kritik lewat puisi-puisinya ia di culik dan pulang-pulang ia sudah lupa ingatan. Tak ada yag tau ia diapakan. Bisa jadi puisi ini di tujukan kepada tokoh ini.

- Puisi-puisi Cinta
Sebagai seorang penyair, syair cinta menjadi hal yang indah dan mesti terjadi dalam setiap perjalanan spiritual. Karena cinta memang mesti ada di dalam setiap hati semua orang. Puisi-puisi cinta mewwarnai antologi puisi ini. Tak berbeda dengan penyair lain, Kinanthi meramu kata-kata menjadi indah lewat bunyi. Ya, hanya lewat bunyi kata-kata dalam puisi akan menjadi indah. Adalah pantai tirta samudera, kerinduan, bayangan-bayanganmu, dia, jantung, mata elang biru, gerimis cinta, renda putri cinta, kepada pemecah rindu, hujan daun pemahat hati, dan dendang sepotong bulan.

Puisi cinta yang paling menarik penggunaan bahasanya dalam kategori ini adalah puisi bayang-bayanganmu. Begini cuplikan puisinya,

BAYANGAN BAYANGANMU  
bergema sebuah lagu
di dasar relung jiwaku
yang bernapas dalam benih dadaku
tiada dicairkan di atas lembar kulit lembu
diulang-ulang oleh mimpi dan bayangan
dipahami oleh cinta, ia meneguk rasa penantian
dalam jubah yang menipis nian
dan mengalirkan rasa pelik kehausan
…..
                         Surakarta, 25 Maret 2013

- Puisi-puisi Budaya dan Filsafat Jawa
Seperti kata Romo Iman di rumah Maiyah, mengajak penyair-penyair untuk menyadari dan segeralah pulang ke kampung halaman, memahami kembali apa-apa yang ada di daerah kita masing-masing. Kinanthi sebagai putri Jawa lewat puisinya telah mencoba mendakwahkan lagi tentang warisan filsafat Jawa. Puisi-puisinya yang termasuk dalam kategori ini adalah Nagaskara Sabuk Inten, Paes Ageng, Digdaya Pancasona, Siksaan Ilmu Kanuragan, Sang Hyang Nari Ratih, canting perempuan laweyan, ketulusan lembu suro, hikayat putra surya, midodari, taman sekartaji, durjana oleh pencerita, ketulusan amba.

- Puisi Kamar
Saya mengatakan puisi kamar mungkin akan asing bagi para pembaca. Puisi kamar ini diperkenalkan oleh seorang pegiat teater Tonggak di Jambi. Ia menjelaskan bahwa puisi kamar adalah puisi yang di dalamnya hanya ungkapan masalah atau tentang pribadi belaka, tidak kosong, tapi tidak bermanfaat bagi misi sastra pada umumnya. Puisi-puisi ini adalah selingkuh, peci putih yang merindukan sujudmu, jendela, benda-benda yang kutinggalkan di kamarmu, pesan bunda, ingatan matahari, bertahan, angin, lampu sentir, "saat, detik, ada", melukis luka, bergincu waktu, bunga es, kidung tersembunyi, mimpi pertama, cuaca,pupuh Kinanthi. Akan dipaparkan sebuah nukilan puisinya yang berjudul Peci Puitih yang Merindukan Sujudmu. Saya mesti berhati-hati ketika menulis ini, takut-takut jika anda sebagai pembaca tidak sesuai pandangan dengan saya, tapi sementara anda tidak setuju mari pertimbangkan alasan saya mengatakan bahwa puisi yang sejenis ini tidaklah bermanfaat bagi misi sastra pada umumnya. Berikut nukilan puisi itu;

PECI PUTIH YANG MERINDUKAN SUJUDMU
: kepada Almarhum bapakku tercinta
sehelai benang emas melingkar di punggungku, tuan
berbalut lapisan warna putih semburat kecokelatan
sesekali kakiku basah oleh kucur air yang kau percikkan
melingkar erat di kepala, begitu caramu mengenakan
barangkali aku hanya berteman dengan ingatan
bersama untaian doa yang selalu kudengarkan
guratan dahi yang tertahan oleh sujud yang pelan
hingga kesabaran menahan amarah dan keinginan
…………
…………
aku tak percaya kau setega itu, tuan
seumur hidupku tak pernah diabaikan demikian
sampai paman tasbih perlahan menjelaskan
lama sudah bulirnya tak lagi tersentuh tangan
sedangkan bajumu tak kulihat lagi selama sepekan
baju bercorak tenun ikat yang biasa kau kenakan
aku merindumu, tuanku
menunggu tanpa tahu keberadaanmu
                                                  Magetan, Agustus 2013

Dari sisi perspektif penulisan, saya akui bahwa ada keunikan di mana peci putih merasakan rindu kepada orang tua yang biasa mengenakannya tiap waktu kemudian ia menunggu hingga sepekan dan tuannya itu tidak mengenakannya lagi, kedudukan peci itupun yang hanya bisa diam akhirnya hanya diam. Sampai di situ unik. Tapi bukan itu yang jadi masalah, mari kita masuk kepada esensi, pesan apa yang ingin di sampaikan oleh puisi ini? saya pribadi pun tidak tahu, saya hanya mengira-ngira tanpa alur pikir yang jelas. Mungkin penulisnya mengungkapkan keterbatasan seorang istri yang mencintai suaminya dalam sistem keluarga feodal yang sangat keras, itu mungkin saja kan? Seperti dalam kisah gadis pantainya pramoedya? Ingat, kita bicara konteks.

Saya tidak berkata bahwa puisi-puisi itu jelek. Bukan, tapi, hanya saja puisi-puisi itu seperti catatan kecil, lebih baik disimpan di kamar. Meski telah menembus beberapa media cetak, tetap saja bobot dalam puisi itu dalam misi sastra sangat ringan, atau bahkan tidak ada.

- Puisi-puisi dengan Peristiwa
Peristiwa yang disampaikan puisi-puisi berikut ini sangat kompleks. Sehingga saya menyatukannya ke dalam satu golongan saja agar pembaca dapat menafsir sendiri menurut pandangan masing-masing. Puisi-puisi peristiwa itu adalah angin ribut, bermata empat itu suamiku, tak dapat apa-apa,  cangkir cemburu, pahlawan kecut, perawan cempaka, pada kelambu ranjang, bianglala, bayi gerimis, lembaran tinta, terbang. Beberapa cerminan dari suatu peristiwa sehari-hari akan anda ambil sendiri pesannya, sehingga saya tidak berhak mengkotak-kotakkan puisi ini secara imperialis yang menghegemoni pendapat anda. Anda pengendara pendapat anda sendiri untuk menginterpretasikannya.

- Puisi-puisi Filosofis
Seperti yang kita bahas di bagian interpretasi di atas. Masih ada beberapa puisi yang mengandung nilai filosofis. Atap hanyalah salah satunya saja. Puisi-puisi itu adalah sepatu, batang, cerita batu, surya kencana, papan pengumuman, danau merah muda, lesung, dan jarum jam. Memang, nilai-nilai filosofis itu bersembunyi di balik wujud benda-benda dalam puisi Kinanthi.dan saya rasa di sinilah jurusnya.

- Puisi-puisi Saduran
Saya bukan bermaksud bahwa puisi ini menyadur dengan puisi lain. Tetapi puisi-puisinya berisikan tentang bahan bacaan-bacaan yang kemudian dimodifikasi ke dalam bentuk puisi. Puisi-puisi ini adalah keukenhof, bunga Azerbaijan, dari nami island ke everland, bordeaux, gadis kuning namsan tower, dan fountain de trevi. Tuntutan seorang Michele Nafas kepada murid-muridnya adalah mentranskripkan bahan bacaan menjadi bentuk lain. Saya akan melampirkan secara lengkap sebuah puisinya yang berjudul Keukenhof. Berikut;

KEUKENHOF
napasku terbeli oleh Amsterdam di bulan Mei
beraroma lembut, semanis vanila dan  sarah lovely
bersama cokelat panas, jaket beludru dan hijab ceruti
berbulu para peri, dengan beribu sihir di ujung jari
tepat di selatan ibukota Belanda gamisku berdiri
tiga puluh menit berteman bis yang sibuk membawa pagi
aku menemukanmu di antara Maret dan Mei
taman putri cuaca, yang bukan dongeng ataupun mimpi
dua kakiku singgah di semampai tubuh yang elok
bertulang daun lurus, bergelayut tanpa berbelok
enam lembar turban yang biasa kau kenakan
bersama tujuh juta bunga diizinkan aku berkenalan
seluas delapan puluh hektar berjajar, laksana tempat hunian
lensaku terjatuh di sisa tanah yang tak kau tempati
sembari mendekati bibirmu, yang tak berani kuciumi
namun sayang, aku tak bisa mengajakmu kembali
bersama angkasa, yang mungkin lama kau benci
atas pengakuanmu, ibu ratu berasal dari Turki
bertanda lahir goresan kuas di setiap sisi
atau jilatan api yang kerap kali tak bertepi
di ujung perkebunan, pamanmu mengawasi setiap pejalan
dua kincir angin yang gagah laksana jenderal peperangan
tak gentar menjaga kelopak sesuai dengan kelipatan
dari kenangan yang terselip tanpa sengaja berkenalan
di kota Lisse dibesarkan ingatanku kini
tentang tulip yang hidup pada musim semi
             Surakarta, Desember 2013

Pembaca bisa melihat kapan dan di mana puisi ini buat, ya, tentu akan muncul kesan “kok di Surakarta?”. Ya, memang begitu, kemudahan akses informasi membuat kita bisa melihat dunia di mana saja kita berada. Sebagai bocoran, deskripsi yang terpapar di puisi ini mirip apa yang telah ada di Wikipedia Dunia tentang Keukenhof, sebuah taman di Belanda. Kinanthi membantu memperkenalkan Keukenhof kepada pembaca tanpa harus mengunjungi tempatnya langsung, Karena, seperti yang saya bilang tadi, akses informasi membantu kita menjelajah dunia.

- Puisi-puisi Sejarah
Ada dua puisinya yang mengandung nilai sejarah. Puisi-puisi filsafat jawa sebenarnya juga puisi sejarah, tetapi sejarah yang saya maksud di sini adalah sejarah zaman di mana kebudayaan barat mulai masuk. Puisi-puisinya yaitu daun di lailmu dan parodi lesbian sembilan delapan. Masih ada beberapa puisi yang membahas sedikit-sedikit tentang masa lampau, tapi karena hanya menyenggol-nyenggol maka tidak bisa saya masukkan ke dalam kategori ini.

- Puisi Religi
Hanya ada dua puisi yang menurut saya dapat di kategorikan sebagai puisi religi. Yaitu mukena beraroma surga dan renda seroja. Renda seroja adalah puisi yang yang mengisahkan sebuah perjalanan menuju peminangan dengan nuansa religius.

MUKENA BERAROMA SURGA……….
di sanalah bapak tersenyum pada tumpuan cahaya
tempat ibu bertemu untuk pertama kalinya
sementara kabut bergelayut dengan manja
memulas delima
dalam desau daun yang berirama
mengirimi surat dengan bahasa gemericik air
agar doa tak terhapus, lantas berpinggir
doa yang bergema dari mukena berhelai emas
bermahkota lipatan kuntum bunga di sudut kakinya
bersulam harapan yang duduk, di batuan mutiara
bergaun gumpalan awan yang diracik oleh cempaka

Magetan, 24 Mei 2014

Begitulah bagian-bagian dari pengolongan antologi puisi yang telah saya analisis menurut penafsiran saya. Sayangnya, dalam puisi-puisi pada antologi ini akan anda temukan beberapa puisi, atau malah kebanyakan puisi terdapat pemilihan diksi yang menghancurkan kata yang lain secara musikalitas, meskipun ada beberapa puisi yang memiliki nilai musikalitas yang sesuai. Namun pemilihan diksi yang tidak sesuai itu membuat membacanya akan terasa jomplang dan kehilangan selera.

Sastra, adalah omong kosong belaka jika melihat sesuatu peristiwa dari satu sisi. Masih banyak sisi interpretasi yang lebih baik bisa Anda lihat. Pendekatan Ekspresif, Pendekatan Obyektif, Dan Pendekatan Mimesis. Tidak ada salahnya, bersabar, belajar memahami.[]


Van Gobh, Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia, FBS, UNY. Aktif menulis dan berdiskusi di Kajian Rabu Sore, Susastra, dan SANGKALA. Juga aktif di bidang teater dan musik. Saat ini tinggal di Jogja.

Berlangganan update artikel terbaru via email:



Iklan Atas Artikel


Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2



Iklan Bawah Artikel