Ikhtiar Ilahi di Balik Pijar-pijar Nurani
Sebuah novel remaja yang penuh hikmah. Mengajarkan akan penerimaan dalam hidup. Sikap yang tidak mudah, namun harus dimiliki untuk kedamaian hati. Karena apa yang kita inginkan terkadang bukanlah yang kita butuhkan. Yang kita anggap baik, tidak selalu yang baik. Allah lebih tahu apa yang dibutuhkan hamba-Nya. Dan satu kata lagi menggambarkan cerita dalam novel ini, tak ada yang pasti di dunia ini kecuali atas kehendak-Nya. Karena walau besar peluang terjadi sesuatu, jika Allah tidak mengijinkan maka tak akan pernah terjadi. Allah selalu punya Rahasia yang indah untuk hamba-Nya yang bersabar dan menerima takdir-Nya.
Serta mengajarkan bahwa tak ada yang tak mungkin di dunia ini. Bahwa segala sesuatu pasti mungkin terjadi, asal ada tekad, kemauan dan do’a. Jika Allah mengijinkan maka semua akan mungkin. Buktinya tokoh utama dalam novel ini Afreen seorang gadis yang berasal dari keluarga yang jauh dari kata mampu dari segi ekonomi. Menjadi seorang yatim sebelum ia lulus dari Aliyah di pondok pesantrennya. Namun ia mampu menyelesaikan studinya di perguruan tinggi di pulau Jawa dengan hasil yang memuaskan “cumloude”. Semua itu membuktikan bahwa semua hal itu mungkin bahkan dari hal yang kelihatannya tak mungkin pun bisa menjadi sebuah kenyataan.
Dua hal yang didapat dari novel ini : 1) hal yang kelihatannya begitu nyata di depan mata, bisa menjadi hanya sekedar harapan karena Allah tak mengijinkan hal itu terjadi. 2) hal yang jauh dari kata mungkin, dengan usaha dan kehendak Allah, maka sesuatu yang kelihatan mustahil pun bisa menjadi sebuah kenyataan.
Tak ada yang sempurna. Begitupun novel ini. Novel ini memiliki beberapa kekurangan, di antaranya :
1. Pendeskripsian yang tidak logis
Beberapa narasi dalam novel ini menggunakan kata atau kalimat yang tidak logis. Tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan. Sehingga membuat pembaca bingung dan bertanya apa maksud dari kalimat tersebut.
Misalnya pada bab 2. Saat keluarga Afreen dalam perjalanan untuk mengunjungi saudaranya, penulis mendeskripsikan keindahan langit malam di tengah samudera seperti berikut “Mereka menengadah ke angkasa, menyaksikan pesona langit di malam hari, begitu indahnya kerja tangan Tuhan. Kerlap-kerlip bintang gemintang, bulan sabit, planet-planet yang mengitari dan benda-benda di luar angkasa memancarkan cahayanya dari kejauhan kepada bumi, yang percikan cahayanya mengenai bahtera yang mereka tumpangi menambah kehangatan malam itu.” Kalimat tersebut menimbulkan pertanyaan di benak pembaca. Planet-planet yang mengitari tidak ada kata benda setelahnya. Planet-planet mengitari apa bukankah kalimat tersebut terkesan seperti kalimat yang rumpang karena tidak memiliki unsur kalimat yang lengkap. Sehingga pembaca menjadi bingung akan maksud dari kalimat ini.
Serta mengajarkan bahwa tak ada yang tak mungkin di dunia ini. Bahwa segala sesuatu pasti mungkin terjadi, asal ada tekad, kemauan dan do’a. Jika Allah mengijinkan maka semua akan mungkin. Buktinya tokoh utama dalam novel ini Afreen seorang gadis yang berasal dari keluarga yang jauh dari kata mampu dari segi ekonomi. Menjadi seorang yatim sebelum ia lulus dari Aliyah di pondok pesantrennya. Namun ia mampu menyelesaikan studinya di perguruan tinggi di pulau Jawa dengan hasil yang memuaskan “cumloude”. Semua itu membuktikan bahwa semua hal itu mungkin bahkan dari hal yang kelihatannya tak mungkin pun bisa menjadi sebuah kenyataan.
Dua hal yang didapat dari novel ini : 1) hal yang kelihatannya begitu nyata di depan mata, bisa menjadi hanya sekedar harapan karena Allah tak mengijinkan hal itu terjadi. 2) hal yang jauh dari kata mungkin, dengan usaha dan kehendak Allah, maka sesuatu yang kelihatan mustahil pun bisa menjadi sebuah kenyataan.
Tak ada yang sempurna. Begitupun novel ini. Novel ini memiliki beberapa kekurangan, di antaranya :
1. Pendeskripsian yang tidak logis
Beberapa narasi dalam novel ini menggunakan kata atau kalimat yang tidak logis. Tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan. Sehingga membuat pembaca bingung dan bertanya apa maksud dari kalimat tersebut.
Misalnya pada bab 2. Saat keluarga Afreen dalam perjalanan untuk mengunjungi saudaranya, penulis mendeskripsikan keindahan langit malam di tengah samudera seperti berikut “Mereka menengadah ke angkasa, menyaksikan pesona langit di malam hari, begitu indahnya kerja tangan Tuhan. Kerlap-kerlip bintang gemintang, bulan sabit, planet-planet yang mengitari dan benda-benda di luar angkasa memancarkan cahayanya dari kejauhan kepada bumi, yang percikan cahayanya mengenai bahtera yang mereka tumpangi menambah kehangatan malam itu.” Kalimat tersebut menimbulkan pertanyaan di benak pembaca. Planet-planet yang mengitari tidak ada kata benda setelahnya. Planet-planet mengitari apa bukankah kalimat tersebut terkesan seperti kalimat yang rumpang karena tidak memiliki unsur kalimat yang lengkap. Sehingga pembaca menjadi bingung akan maksud dari kalimat ini.
Lalu, bukankah benda langit yang dapat memancarkan cahayanya sendiri itu disebut bintang. Bukankah kata “bintang” sudah ada padi bagian awal kalimat sebelumnya. Mengapa disebutkan kembali. Sehingga terkesan kurang efektif kalimat tersebut karena terdapat kata yang bermaksa sama dalam kalimat itu.
Lalu pendeskripsian tentang langit malam yang muram seperti berikut “Ditatapnya gugus bintang yang tak menampakkan satupun bintang yang memancarkan cahayanya”. Kalimat ini terasa janggal. Bukankah gugus bintang tidak dapat dilihat dengan mata telanjang? Lalu mengapa ia (Afreen) bisa menatap gugus bintang dengan mata telanjang (tanpa alat bantu). Saya rasa kata “gugus bintang” bisa diganti dengan kata “rasi bintang”. Namun bila melihat kelanjutan dari kalimat tersebut secara utuh kata rasi bintang juga kurang pas. Karena dari keterangan penjelasnya jelas tidak ada bintang di langit malam itu. Lalu bagaimana ia bisa menatap rasi bintang sedangkan tak ada satupun bintang yang menghiasi langit malam itu.
Kemudian pendeskripsian tentang langit malam lagi seperti berikut “MALAM pun kembali menyapa, gugusan bintang dan benda-benda langit kembali memantulkan cahayanya pada semua benda yang ada di permukaan bumi”. Kalimat ini juga janggal. Bukankah bintang memiliki cahaya sendiri. Bintang memancarkan cahaya. Lalu mengapa mereka (gugusan bintang dan benda langit ) memantulkan cahaya ? bukankah seharusnya memancarkan? Sama seperti yang diatas juga bukankah gugus bintang tak dapat dilihat dengan mata telanjang.
2. Dialog antartokoh
Bunda Rana bertanya tentang kesibukan Afreen seperti berikut “Apa kesibukannya besok?”. Sedikit terasa ada yang janggal. Bukankah seharusnya untuk bertanya pada orang yang diajak bicara menggunakan kata ganti orang kedua tunggal. Menggunakan kata –mu sehingga menjadi “Apa kesibukanmu besok?” namun disini penulis menggunakan akhiran –nya sehingga terkesan merujuk pada orang ketiga tunggal yang tidak ada disitu.
Lalu saat Afreen menjawab telpon dari Yusuf “Oooh iya, aku pernah dengar nama itu sehari keberangkatannya kak Fayyadh dan menyampaikan amanah itu” Menurut saya bukankah sebaiknya kalimat tersebut menjadi seperti ini : “Oooh iya, aku pernah dengar nama itu sehari sebelum keberangkatan kak Fayyadh dan ia menyampaikan amanah itu,”. Karena penggunaan kata akhran –nya lalu diikuti nama orang terkesan berlebihan dan tidak efektif. Bukankah –nya itu sendiri juga sudah merujuk pada orang.
3. Alur cerita
Pada bagian awal terasa terlalu lambat. Namun pada bagian belakang terasa begitu cepat. Dan ada beberapa hal detail yang tidak dijelaskan sehingga menimbulkan pertanyaan. Seperti bagaimana proses perjodohan Fayyadh dan Afiah? Bagaimana suami Afreen tiba-tiba datang dan melamar Afreen?
Lalu pendeskripsian tentang langit malam yang muram seperti berikut “Ditatapnya gugus bintang yang tak menampakkan satupun bintang yang memancarkan cahayanya”. Kalimat ini terasa janggal. Bukankah gugus bintang tidak dapat dilihat dengan mata telanjang? Lalu mengapa ia (Afreen) bisa menatap gugus bintang dengan mata telanjang (tanpa alat bantu). Saya rasa kata “gugus bintang” bisa diganti dengan kata “rasi bintang”. Namun bila melihat kelanjutan dari kalimat tersebut secara utuh kata rasi bintang juga kurang pas. Karena dari keterangan penjelasnya jelas tidak ada bintang di langit malam itu. Lalu bagaimana ia bisa menatap rasi bintang sedangkan tak ada satupun bintang yang menghiasi langit malam itu.
Kemudian pendeskripsian tentang langit malam lagi seperti berikut “MALAM pun kembali menyapa, gugusan bintang dan benda-benda langit kembali memantulkan cahayanya pada semua benda yang ada di permukaan bumi”. Kalimat ini juga janggal. Bukankah bintang memiliki cahaya sendiri. Bintang memancarkan cahaya. Lalu mengapa mereka (gugusan bintang dan benda langit ) memantulkan cahaya ? bukankah seharusnya memancarkan? Sama seperti yang diatas juga bukankah gugus bintang tak dapat dilihat dengan mata telanjang.
2. Dialog antartokoh
Bunda Rana bertanya tentang kesibukan Afreen seperti berikut “Apa kesibukannya besok?”. Sedikit terasa ada yang janggal. Bukankah seharusnya untuk bertanya pada orang yang diajak bicara menggunakan kata ganti orang kedua tunggal. Menggunakan kata –mu sehingga menjadi “Apa kesibukanmu besok?” namun disini penulis menggunakan akhiran –nya sehingga terkesan merujuk pada orang ketiga tunggal yang tidak ada disitu.
Lalu saat Afreen menjawab telpon dari Yusuf “Oooh iya, aku pernah dengar nama itu sehari keberangkatannya kak Fayyadh dan menyampaikan amanah itu” Menurut saya bukankah sebaiknya kalimat tersebut menjadi seperti ini : “Oooh iya, aku pernah dengar nama itu sehari sebelum keberangkatan kak Fayyadh dan ia menyampaikan amanah itu,”. Karena penggunaan kata akhran –nya lalu diikuti nama orang terkesan berlebihan dan tidak efektif. Bukankah –nya itu sendiri juga sudah merujuk pada orang.
3. Alur cerita
Pada bagian awal terasa terlalu lambat. Namun pada bagian belakang terasa begitu cepat. Dan ada beberapa hal detail yang tidak dijelaskan sehingga menimbulkan pertanyaan. Seperti bagaimana proses perjodohan Fayyadh dan Afiah? Bagaimana suami Afreen tiba-tiba datang dan melamar Afreen?
Bagaimana hari-hari Fayyadh di luar negeri saat menempuh pendidikan?
Acara pernikahan Fahya?
4. Penggunaan akhiran –nya
Sebagai contoh : “Apa kesibukannya besok?” pertanyaan Bunda Rana pada Afreen. Terasa janggal. Bukankah seharusnya untuk menanyakan pada orang yang diajak bicara menggunakan kata ganti orang kedua tunggal. Menggunakan kata –mu sehingga menjadi “Apa kesibukanmu besok?”
Jawaban Afreen akan telpon dari Yusuf “Oooh iya, aku pernah dengar nama itu sehari keberangkatannya kak Fayyadh dan menyampaikan amanah itu.
Sehingga bahasa yang digunakan terkesan seperti bahasa lisan bukan bahasa tulis. Karena bukankah kata –nya biasanya hanya sering digunakan dalam bahasa lisan dalam suasana non formal.
5. Kejanggalan-kejanggalan dalam novel ini
Ada beberapa hal yang terasa janggal dalam novel ini, diantaranya adalah saat Afreen bercerita tentang sosok yang dicintainya, namun Ibunya tak bertanya apapun tentang laki-laki yang merebut hati putri sulungnya itu. Hanya mendo’akan untuk yang terbaik bagi putrinya. Bukankah umumnya seorang Ibu akan bertanya pada putri, tentang setiap orang yang dekat dirinya walaupun hanya sekedar teman laki-laki. Namun mengapa Ibu Afreen tak bertanya apapun? Apakah Ibunya sudah tahu bahwa Fayyadh adalah putra dari Kiai pengasuh pondok pesantren tempat Afreen dulu mondok?
6. Bagian yang membuat gemas
Yang membuat pembaca jadi gemas dalam cerita ini adalah sikap Fayyadh yang tidak kunjung memberi kepastian pada Afreen. Ia membiarkan Afreen menunggu dua bulan untuk mendengar jawaban yang meluluh lantahkan hatinya. Bukankah jika Fayyadh tak mampu mengatakan langsung pada Afreen ia bisa meminta tolong pada Bunda Rana untuk membantunya memberikan jawaban pada Afreen. Dan kenapa Afreen juga hanya menunggu. Kenapa ia tidak berusaah untuk mencari tahu jawaban dari Fayydh. Entahlah mungkin ini yang terbaik menurut penulis untuk diri Afreen dan Fayyadh.
Dengan segala kekurangan dari novel ini, novel ini sangat layak untuk dibaca dan direkomendasikan untuk sahabat-sahabat tercinta. Karena penulis mampu menyajikan kisah cinta yang begitu indah. Yang tidak hanya berpusat pada masalah cinta. Namun juga ukhuwah persahabatan serta perjuangan dengan bermodal tekad untuk mengenyam pendidikan. Cerita yang jarang ditemui. Dimana latar tempat kisah cinta ini adalah sebuah pondok pesantren. Cinta yang kuat namun tetap menjaga kemuliaan cinta itu dengan tetap berpegang pada aturan agama. Dari sini dapat dilihat bahwa penulis mencoba untuk mengungkapkan bahwa cinta itu bisa terjadi kapan saja, dimana saja dan pada siapa saja. Bahkan dari tempat yang terduga sekalipun.
4. Penggunaan akhiran –nya
Sebagai contoh : “Apa kesibukannya besok?” pertanyaan Bunda Rana pada Afreen. Terasa janggal. Bukankah seharusnya untuk menanyakan pada orang yang diajak bicara menggunakan kata ganti orang kedua tunggal. Menggunakan kata –mu sehingga menjadi “Apa kesibukanmu besok?”
Jawaban Afreen akan telpon dari Yusuf “Oooh iya, aku pernah dengar nama itu sehari keberangkatannya kak Fayyadh dan menyampaikan amanah itu.
Sehingga bahasa yang digunakan terkesan seperti bahasa lisan bukan bahasa tulis. Karena bukankah kata –nya biasanya hanya sering digunakan dalam bahasa lisan dalam suasana non formal.
5. Kejanggalan-kejanggalan dalam novel ini
Ada beberapa hal yang terasa janggal dalam novel ini, diantaranya adalah saat Afreen bercerita tentang sosok yang dicintainya, namun Ibunya tak bertanya apapun tentang laki-laki yang merebut hati putri sulungnya itu. Hanya mendo’akan untuk yang terbaik bagi putrinya. Bukankah umumnya seorang Ibu akan bertanya pada putri, tentang setiap orang yang dekat dirinya walaupun hanya sekedar teman laki-laki. Namun mengapa Ibu Afreen tak bertanya apapun? Apakah Ibunya sudah tahu bahwa Fayyadh adalah putra dari Kiai pengasuh pondok pesantren tempat Afreen dulu mondok?
6. Bagian yang membuat gemas
Yang membuat pembaca jadi gemas dalam cerita ini adalah sikap Fayyadh yang tidak kunjung memberi kepastian pada Afreen. Ia membiarkan Afreen menunggu dua bulan untuk mendengar jawaban yang meluluh lantahkan hatinya. Bukankah jika Fayyadh tak mampu mengatakan langsung pada Afreen ia bisa meminta tolong pada Bunda Rana untuk membantunya memberikan jawaban pada Afreen. Dan kenapa Afreen juga hanya menunggu. Kenapa ia tidak berusaah untuk mencari tahu jawaban dari Fayydh. Entahlah mungkin ini yang terbaik menurut penulis untuk diri Afreen dan Fayyadh.
Dengan segala kekurangan dari novel ini, novel ini sangat layak untuk dibaca dan direkomendasikan untuk sahabat-sahabat tercinta. Karena penulis mampu menyajikan kisah cinta yang begitu indah. Yang tidak hanya berpusat pada masalah cinta. Namun juga ukhuwah persahabatan serta perjuangan dengan bermodal tekad untuk mengenyam pendidikan. Cerita yang jarang ditemui. Dimana latar tempat kisah cinta ini adalah sebuah pondok pesantren. Cinta yang kuat namun tetap menjaga kemuliaan cinta itu dengan tetap berpegang pada aturan agama. Dari sini dapat dilihat bahwa penulis mencoba untuk mengungkapkan bahwa cinta itu bisa terjadi kapan saja, dimana saja dan pada siapa saja. Bahkan dari tempat yang terduga sekalipun.
Surakarta. 7 Maret 2015
Dzirwatul Muna
Mahasiswa semester VI Pendidikan Fisika
Universitas Sebelas Maret
Mahasiswa semester VI Pendidikan Fisika
Universitas Sebelas Maret