Kisah Persahabatan Lupita dan Lulupi - PUSTAKA PUITIKA -->

Kisah Persahabatan Lupita dan Lulupi

Novel anak merupakan serangkaian karya fiksi yang dikemas sedemikian rupa dan bertujuan untuk memberikan pesan-pesan tertentu pada anak. Setiap penulis novel anak memiliki gaya masing-masing dalam menyajikan ceritanya. Begitu juga dengan Mbak Sowiyah. Wanita kelahiran tahun 1982 yang juga merupakan penulis novel “Dua Ibu” ini mengemas novel anak berjudul “Lupita dan Lulupi” dengan gaya metafor yang memadukan antara realis dan fantasi. Hal itu yang membedakan novel “Lupita dan Lulupi” dengan kebanyakan novel di pasaran.

Novel “Lupita dan Lulupi” karya Mbak Sowiyah merupakan novel anak-anak yang mengisahkan persahabatan dua anak kakak beradik, Lupita dan Bagas dengan binatang peliharaannya. Novel “Lupita dan Lulupi” ini digarap dengan bahasa yang sederhana dan mudah dicerna anak-anak namun tetap sarat makna.

Di dalam novel anak berjudul Lupita dan Lulupi terdiri dari beberapa bagian di antaranya Mengaji, Meo Meo, Kawan Baru, Namanya Lulupi, Bermain Bersama Lulupi, Lupita Minta Dibuatkan Kamar, Meo Meo dan Gilda, Kegelisahan Lulupi, Tentang Lulupi, Bunda Dipanggil ke Sekolah, Lupita Marah Kepada Bi Oval, Takdir Binatang, Lupita dan Bu Rima, Nasihat Bunda, Meo Meo Bertemu Ibunya, Tiga Butir Nasi untuk Lulupi, Kegaduhan di Kelas Lupita, dan Bertamasya ke Dufan.

Novel “Lupita dan Lulupi” dibuka dengan kisah kakak beradik, Bagas dan Lupita yang tengah mengaji di serambi sebuah masjid bersama teman-temannya dengan dibimbing oleh Pak Ustaz dan Bu Ustaz. Hari itu mereka belajar tentang kisah Nabi Sulaiman yang menyayangi dan disayangi binatang serta dapat berkomunikasi dengan semua binatang. Mengetahui kisah Nabi Sulaiman yang sayang terhadap semua binatang, tokoh Lupita yang awalnya tidak menyukai binatang menjadi suka dan sayang terhadap binatang terutama binatang peliharaan Bagas, Meo Meo.

Cerita dilanjutkan dengan tokoh Meo Meo yang pernah dipukul oleh Lupita merasa curiga dengan sikap Lupita yang berubah menjadi baik terhadapnya. Meo Meo pun masih enggan bermain dengan Lupita karena ia takut kalau-kalau dipukul lagi atau Lupita memiliki niat buruk lain terhadapnya. Meski Lupita sudah baik terhadapnya, Meo Meo tetap lebih suka bermain dengan Bagas dari pada Lupita.

Di tengah keirian Lupita terhadap Bagas, kakaknya yang selalu bermain dan tidur bersama Meo Meo, muncullah seekor cicak betina berwarna putih di kamar Lupita ketika ia tengah mengerjakan PR. Kemudian tokoh Lupita berusaha untuk mengajak cicak tersebut berkomunikasi. Meski cicak adalah seekor binatang, namun Lupita dan cicak bisa bermain bersama dengan gembira.

Cerita dilanjutkan dengan kisah perkenalan tokoh Lupita dan cicak putih. Esok harinya tokoh Lupita dibuat tercengang karena cicak putih yang semalam bermain bersamanya tiba-tiba memanggil namanya dengan bahasa manusia. Ternyata cicak ajaib tersebut bernama Lulupi.

Akan tetapi, kehadiran Lulupi dalam kehidupan Lupita berdampak buruk. Seperti sebuah kutukan bahwa manusia yang kejatuhan cicak akan tertimpa sial. Sejak berteman dengan Lulupi, Lupita terlalu asik bermain hingga ia sering menghabiskan malam dengan bermain bersama Lulupi. Alhasil, Lupita sering tertidur di kelas dan prestasinya pun perlahan menurun bahkan terancam tidak naik kelas.

Mendengar perubahan itu Lulupi menjadi sedih. Ia tak ingin kawan barunya itu menjadi anak bodoh karena terlalu banyak bermain dengannya. Meo Meo yang mengetahui kisah persahabatan Lupita dan Lulupi menyarankan agar Lulupi menjauhi Lupita supaya bocah itu bisa belajar.

Namun dugaan Meo Meo dan Lulupi salah. Bukannya menjadi anak yang rajin belajar, Lupita justru semakin terpuruk. Setiap malam ia sering begadang dan menunggu kehadiran Lulupi. Paginya di sekolah ia menjadi mengantuk dan tertidur di kelas. Di rumah pun ia tak seceria biasanya. Bu Rima, wali kelas Lupita dibuat bingung karenanya. Pak Ulil dan Bu Ulil, orang tua Lupita dan Bagas, pun tak kalah bingung menghadapi perubahan sikap Lupita. Mereka hanya mengetahui dari penuturan Bagas bahwa Lupita sering memanggil-manggil nama Lulupi ketika Bagas tertidur. Pak Ulil dan Bu Ulil mengira Lulupi adalah salah satu tokoh dongeng yang disukai Lupita.

Kebingungan Pak Ulil dan Bu Ulil menghadapi perubahan sikap Lupita mencapai klimaks ketika suatu malam Lupita marah besar terhadap Bi Oval, pembantu di rumahnya, hanya karena Bi Oval menyemprotkan pembasmi nyamuk di kamar Lupita. Bi Oval pun menjadi sedih dan bingung karena sikap anak majikannya. Setelah ditanya oleh Bu Ulil, ternyata alasan Lupita memarahi Bi Oval karena Bi Oval menyemprotkan pembasmi nyamuk di kamar Lupita. Tindakan yang dilakukan Bi Oval akan membuat nyamuk-nyamuk di kamarnya habis dan para cicak menjadi kelaparan.

Di tengah pembicaraan mereka tiba-tiba muncullah dua ekor cicak yang tengah berkejar-kejaran. Awalnya Lupita mengira itu adalah Lulupi hingga tanpa sadar ia menggumam nama Lulupi yang kemudian didengar oleh Bu Ulil. Setelah Pak Ulil dan Bu Ulil keluar dari kamar Lupita, Bu Ulil tidak benar-benar pergi, justru menguping dari balik pintu kamar Lupita. Didengarnya anak perempuannya itu berbicara pada kedua cicak yang sedang asyik bercengkarama. Ditanyakannya kabar Lulupi yang sudah lama tak pernah menemuinya. Namun kedua cicak itu justru mengabaikan Lupita. Sejak saat itu Pak Ulil, Bu Ulil, Bagas, Bi Oval dan Bu Rima mengetahui bahwa kawan yang meninggalkan Lupita dan membuat Lupita terpuruk adalah seekor cicak. Awalnya Lupita takut orang tuanya akan melarangnya berkawan dengan cicak, namun Pak Ulil dan Bu Ulil yang bijaksana justru mengijinkan Lupita berkawan dengan cicak asalkan Lupita bisa membagi waktu antara bermain dan belajar.

Kelebihan novel ini adalah gaya bahasa yang sederhana sehingga mudah dipahami oleh anak-anak. Selain itu penulis novel ini juga piawai dalam menyisipkan pesan moral dalam novelnya. Pesan moral tersebut dikemas secara apik dengan cerita yang penuh imajinasi dan tentunya sangat disukai anak-anak. Sehingga, di balik penuturan yang sederhana, novel ini mengajarkan banyak pesan moral untuk kita.

Berikut pesan moral dalam novel “Lupita dan Lulupi” yang dapat kita teladani.
1. Menumbuhkan kembali kegemaran mengaji
Membaca novel “Lupita dan Lulupi” seolah membawa kita berziarah ke masa beberapa tahun silam. Masa ketika anak-anak menghabiskan sore di serambi masjid sembari mengaji bersama. Penulis seolah ingin menyadarkan kita betapa kita sudah terlalu jauh melangkah keluar koridor Tuhan.

“Kalau begitu cepetan mandi, Neng. Sebentar lagi berangkat ngaji.” (Lupita dan Lulupi, hlm: 43).

Cerita pembuka novel ini seolah ingin menyadarkan kita untuk menumbuhkan kembali kegemaran mengaji. Entah bagaimana awalnya, tak dapat dipungkiri lagi bahwa kegemaran mengaji memang sudah banyak mengalami kemerosotan bahkan cenderung ditinggalkan oleh masyarakat masa kini.

2. Menumbuhkan rasa sayang terhadap semua makhluk ciptaan Tuhan termasuk binatang dan tumbuhan sejak dini 
Membaca novel “Lupita dan Lulupi” juga akan mengingatkan kita bahwa makhluk di dunia ini tak hanya manusia saja, melainkan juga ada binatang dan tumbuhan. Meski manusia memang ciptaan Tuhan yang paling sempurna, bukan berarti kita boleh semena-mena. Kita harus tetap menyayangi tumbuhan dan binatang sebagai sesama makhluk Tuhan.

“Pohon juga makhluk hidup seperti halnya manusia. Maka, jangan sakiti ia dengan merusaknya.” (Lupita dan Lulupi, halaman 10)

“Nabi Sulaiman sangat menyayangi semua binatang. Beliau tidak pernah marah atau memukul binatang…” (Lupita dan Lulupi, halaman 14).

Ajakan untuk mencintai sesama makhluk Tuhan memang harus ditanamkan sejak dini dalam rangka pembentukan karakter anak. Novel “Lupita dan Lulupi” ini hadir sebagai media orang tua maupun guru dalam membentuk karakter luhur anak.

3. Menumbuhkan rasa saling menghormati terhadap sesama
“… Bahasanya juga lucu, medhok Banyumasan campur lo-gue betawi yang diulek jadi satu kayak gado-gado. Bagas dan Lupita pernah menjulukinya sebagai banci, namun ayah dan bunda memarahinya.” (Lupita dan Lulupi, halaman 24).

“Tapi lain kali jangan berbicara kasar pada Bi Oval, ya? Masak kamu nggak kasihan sama Bi Oval. Dia kan capek, setiap hari bekerja membantu bunda dan kita semua…” (Lupita dan Lulupi, halaman 108)

Dari kutipan di atas tersurat bahwa tokoh ayah dan bunda memarahi Bagas dan Lupita ketika mereka meledek Bi Oval maupun berbicara kasar padanya. Penulis kembali menyisipkan pesan moral yang sangat bermakna pada bagian ini. Bahwa sesama manusia pun harus saling menghormati tanpa melihat status sosial sangat ditekankan di sini. Dengan demikian, novel ini merupakan bacaan yang sangat bergizi untuk anak-anak.

4. Melaksanakan kewajiban terlebih dahulu baru menuntut hak
“Di kamarnya, Lupita menekuni PR-nya. Ia ingin secepatnya selesai agar bisa bermain-main dengan Meo Meo.” (Lupita dan Lulupi, halaman 29).

Kutipan novel di atas dapat memberi pesan moral untuk anak bahwa mereka harus melaksanakan kewajiban terlebih dahulu baru kemudian menuntut haknya. Hal tersebut digambarkan dengan tokoh Lupita yang bersusah payah memenuhi kewajibannya dengan mengerjakan PR agar ia dapat mendapatkan haknya untuk bermain bersama Meo Meo.

5. Pentingnya menciptakan komunikasi yang baik dalam keluarga
“Ada apa dengan Lupita, ya, Bu?” tanya Pak Ulil.
“Ibu juga tidak tahu, Pak.”
“Ya sudah, Bi. Bi Oval teruskan pekerjaan saja…” (Lupita dan Lulupi, halaman 52).

Novel “Lupita dan Lulupi” mengajarkan kita untuk membangun komunikasi yang baik dalam keluarga untuk menciptakan suasana yang harmonis. Seperti terdapat dalam kutipan di atas tersirat bahwa untuk memecahkan masalah yang dihadapi Lupita, semua anggota keluarga ikut dilibatkan mulai dari ayah, bunda, Bagas, bahkan Bi Oval yang hanya sebagai pembantu rumah tangga pun turut serta dilibatkan untuk mencari akar permasalahan yang menimpa Lupita. Sehingga tercipta suasana rumah tangga yang harmonis. Hal ini lah yang kadang terlupakan oleh para orang tua. Dengan demikian, novel “Lupita dan Lulupi” ini bukan hanya bermanfaat untuk anak-anak melainkan juga untuk orang tua.

6. Saling mengingatkan sesama sahabat untuk kebaikan
“Belajar, belajar.” kata Lulupi mengingatkan.

“Aku lagi malas belajar, Lulupi. Tadi di sekolah aku ditegur terus sama Bu Rima, karena mengantuk di kelas.” (Lupita dan Lulupi, halaman 70).

Sahabat yang baik bukanlah mereka yang selalu memuji kita di depan maupun berada di samping kita ketika senang, namun sejatinya sahabat yang baik adalah mereka yang berani mengingatkan ketika kita membuat kesalahan dan tetap berada di samping kita di saat kita mengalami kesulitan. Hal ini dapat kita teladani dari persahabatan Lupita dan Lulupi. Tokoh Lulupi selalu berusaha mengingatkan Lupita ketika ia mulai malas belajar. Selain itu, meski Lulupi menjauhi Lupita di saat Lupita mengalami kesulitan, namun sejatinya Lulupi tak benar-benar pergi. Lulupi melakukan itu justru karena ia ingin yang terbaik untuk Lupita. Di balik persembunyiannya, Lulupi sebenarnya selalu memperhatikan Lupita.

7. Bersikap bijaksana sebagai orang tua
“Jadi, Bunda tidak marah, ya, mengetahui Lupita berkawan dengan seekor cicak?” (Lupita dan Lulupi, halaman 130).

Orang tua harus bisa bersikap bijaksana dan bisa memandang masalah bukan hanya dari satu sudut pandang saja. Itulah yang ditekankan pada kutipan di atas. Sebenarnya sebagai orang tua, tokoh bunda tentu khawatir melihat anaknya berkawan dengan seekor cicak. Namun karena bunda ini adalah tokoh yang bijaksana dan bisa memandang suatu masalah dari sudut pandang yang berbeda yaitu dengan menempatkan dirinya sebagai seorang anak kecil yang tengah bahagia menemukan sahabat baru, bunda justru mengesampingkan kekhawatirannya bahkan mengijinkan Lupita bersahabat dengan Lulupi dengan catatan Lupita tetap bisa membagi waktu antara belajar dan bermain.

Meski mempunyai banyak sekali kelebihan, novel “Lupita dan Lulupi” juga tak luput dari kekurangan. Salah satu kekurangan dalam novel ini adalah diketengahkannya kisah pacaran antara Bi Oval dan Bang Somat. Disayangkan novel yang sarat makna dan bagus untuk menjadi media dalam pembentukan karakter luhur anak ini dicemari dengan kata pacaran yang sebenarnya kurang pantas untuk anak-anak.

Terlepas dari itu semua, novel “Lupita dan Lulupi” ini merupakan novel anak-anak yang sarat akan nilai moral yang dikemas secara apik menjadi sebuah hidangan yang sederhana, manis, imajinatif, dan mudah dicerna oleh anak-anak.

Demikian pesan di balik novel “Lupita dan Lulupi” yang dapat kita teladani. Semoga bermanfaat.

Kebumen, 20 Maret 2015

Nur Rokhanah
Mahasiswa Pendidikan Guru Sekolah Dasar
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sebelas Maret, Surakarta

Berlangganan update artikel terbaru via email:



Iklan Atas Artikel


Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2



Iklan Bawah Artikel