Menatap Abstraksi Lewat Mata Cahaya
Secara sederhana, puisi merupakan wadah untuk menumpahkan perasaan. Entah itu bahagia, sedih, rindu, atau dendam. Hampir setiap orang bisa menulis puisi. Perbedaannya adalah apa yang terkandung dalam puisi tersebut, seberapa besar puisi tersebut mengena serta memberi inspirasi bagi pembacanya. Sesuatu yang terkandung dalam puisi yang mampu mengena dan memberi inspirasi itu, adalah ruh (KBBI: roh) puisi yang merupakan kesatuan dari rasa dan penghayatan.
Tema cinta masih menjadi sumber inspirasi dalam menulis puisi. Ada banyak kisah yang terkandung dalam cinta. Salah satunya tentang kerinduan. Puisi dengan tema cinta dan kerinduan banyak dijumpai. Lalu apa yang menjadikan puisi dengan tema cinta dan kerinduan menjadi istimewa? Kembali pada ruh puisi. Selain dari pada itu, cara penulisan dan penyampaiannya pun mestilah dikemas dengan cara berbeda.
Mata Cahaya merupakan buku yang berisi empat puluh satu puisi. Puisi tentang kerinduan menjadi yang banyak ditemui. Ini merupakan hal lumrah karena kerinduan merupakan abstraksi yang dirasakan setiap orang. Namun kerinduan seperti apa yang disuguhkan Erika Ayesha? Melalui Mata Cahaya, Erika Ayesha mengajak kita mencoba melihat abstarksi lain dari tiap-tiap puisi kerinduan yang ada dalam bukunya. Abstraksi yang juga—atau mungkin pernah, dan sedang kita alami. Abstraksi yang membuat kita seperti menjelajahi lorong pararel dari tiap puisi yang memberi pesan berbeda dari kerinduan.
Kerinduan yang sering kita jumpai adalah rindunya sepasang kekasih yang terpisah karena banyak hal. Mata Cahaya membuka penglihatan kita pada kerinduan yang tak hanya pada sosok yang menyertai keseharian, dan dapat kita lihat melalui mata lahir (manusia). Tapi juga kerinduan pada Sang Pencipta yang menguasai diri kita, dan hanya bisa kita lihat melalui kacamata keimanan (Allah).
Menjadi menarik ketika kerinduan itu justru berubah serupa bayangan yang selalu ada menyertai keseharian. Bayangan yang kadang menakutkan, dan ingin segera dihapus dengan pertemuan. Namun pertemuan yang tak kunjung tiba membuat bayangan itu terus menghantui. Hingga dalam perjalannya, seseorang melakukan banyak hal untuk bisa sesaat berpaling dari kerinduan, yang menjadi bayangan yang menakutkan tersebut.
Maka saya pun menggariskannya dalam dua ulasan. Satu, tentang kerinduan yang sedang dirasakan. Dua, mengenai cara yang dilakukan saat hati tidak menginginkan kerinduan itu. Mari kita mulai:
1. Kerinduan
Ada penyuguhan berbeda dari puisi dengan tema kerinduan dalam Mata Cahaya. Kerinduan yang ada bukanlah tentang sepasang kekasih, entah itu sejoli yang masih pacaran atau yang sudah terikat pernikahan. Mata Cahaya melihat kerinduan berbeda dari sosok anak yang merindukan orang tuanya yang telah meninggal. Dan Mata Cahaya pun menangkap gejolak dari kerinduan hati seorang wanita yang mengharapkan kedatangan calon suami, imam yang kelak akan memimpin bahtera rumah tangga menuju keridoan Illahi. Saya akan mencantumkan beberapa puisi dalam ulasan dua kerinduan di atas.
Tema cinta masih menjadi sumber inspirasi dalam menulis puisi. Ada banyak kisah yang terkandung dalam cinta. Salah satunya tentang kerinduan. Puisi dengan tema cinta dan kerinduan banyak dijumpai. Lalu apa yang menjadikan puisi dengan tema cinta dan kerinduan menjadi istimewa? Kembali pada ruh puisi. Selain dari pada itu, cara penulisan dan penyampaiannya pun mestilah dikemas dengan cara berbeda.
Mata Cahaya merupakan buku yang berisi empat puluh satu puisi. Puisi tentang kerinduan menjadi yang banyak ditemui. Ini merupakan hal lumrah karena kerinduan merupakan abstraksi yang dirasakan setiap orang. Namun kerinduan seperti apa yang disuguhkan Erika Ayesha? Melalui Mata Cahaya, Erika Ayesha mengajak kita mencoba melihat abstarksi lain dari tiap-tiap puisi kerinduan yang ada dalam bukunya. Abstraksi yang juga—atau mungkin pernah, dan sedang kita alami. Abstraksi yang membuat kita seperti menjelajahi lorong pararel dari tiap puisi yang memberi pesan berbeda dari kerinduan.
Kerinduan yang sering kita jumpai adalah rindunya sepasang kekasih yang terpisah karena banyak hal. Mata Cahaya membuka penglihatan kita pada kerinduan yang tak hanya pada sosok yang menyertai keseharian, dan dapat kita lihat melalui mata lahir (manusia). Tapi juga kerinduan pada Sang Pencipta yang menguasai diri kita, dan hanya bisa kita lihat melalui kacamata keimanan (Allah).
Menjadi menarik ketika kerinduan itu justru berubah serupa bayangan yang selalu ada menyertai keseharian. Bayangan yang kadang menakutkan, dan ingin segera dihapus dengan pertemuan. Namun pertemuan yang tak kunjung tiba membuat bayangan itu terus menghantui. Hingga dalam perjalannya, seseorang melakukan banyak hal untuk bisa sesaat berpaling dari kerinduan, yang menjadi bayangan yang menakutkan tersebut.
Maka saya pun menggariskannya dalam dua ulasan. Satu, tentang kerinduan yang sedang dirasakan. Dua, mengenai cara yang dilakukan saat hati tidak menginginkan kerinduan itu. Mari kita mulai:
1. Kerinduan
Ada penyuguhan berbeda dari puisi dengan tema kerinduan dalam Mata Cahaya. Kerinduan yang ada bukanlah tentang sepasang kekasih, entah itu sejoli yang masih pacaran atau yang sudah terikat pernikahan. Mata Cahaya melihat kerinduan berbeda dari sosok anak yang merindukan orang tuanya yang telah meninggal. Dan Mata Cahaya pun menangkap gejolak dari kerinduan hati seorang wanita yang mengharapkan kedatangan calon suami, imam yang kelak akan memimpin bahtera rumah tangga menuju keridoan Illahi. Saya akan mencantumkan beberapa puisi dalam ulasan dua kerinduan di atas.
a) Kerinduan Anak Terhadap Orang Tuanya
Puisi dengan judul Epilog Kuntum Rindu, menggambarkan kerinduan anak pada ibunya. Kerinduan yang muncul dalam keheningan. Seperti ada gambaran kesepian yang muncul sebelum kerinduan itu tiba-tiba hinggap di hati. Puisi lainnya berjudul Rindu Tak Berlabuh. Kerinduan yang menjadi bentuk ketidakberdayaan atas kenyataan. Karena obat dari kerinduan yang merupakan pertemuan tak akan terjadi dalam kehidupan di dunia, dan mungkin akan terjadi pada kehidupan setelah kematian.
Dalam dua puisi tersebut, Erika Ayesha memiliki cara dalam melihat abstraksi dengan Mata Cahaya—sebuah penggambaran imajinasi yang terbentuk dari anak yang menceritakan. Anak melihat lewat mata cahaya gambaran orang tua dari doa yang dipanjatkannya. Abstraksi itu pun menjadi cermin atas pengajaran dan kasih sayang yang diberikan orang tua selagi hidup. Ini berarti mata cahaya tidak hanya melihat nun jauh ke ruang pengembaraan abstraksi, tapi juga melihat ke dalam diri yang penuh konflik.
Puisi dengan judul Epilog Kuntum Rindu, menggambarkan kerinduan anak pada ibunya. Kerinduan yang muncul dalam keheningan. Seperti ada gambaran kesepian yang muncul sebelum kerinduan itu tiba-tiba hinggap di hati. Puisi lainnya berjudul Rindu Tak Berlabuh. Kerinduan yang menjadi bentuk ketidakberdayaan atas kenyataan. Karena obat dari kerinduan yang merupakan pertemuan tak akan terjadi dalam kehidupan di dunia, dan mungkin akan terjadi pada kehidupan setelah kematian.
Dalam dua puisi tersebut, Erika Ayesha memiliki cara dalam melihat abstraksi dengan Mata Cahaya—sebuah penggambaran imajinasi yang terbentuk dari anak yang menceritakan. Anak melihat lewat mata cahaya gambaran orang tua dari doa yang dipanjatkannya. Abstraksi itu pun menjadi cermin atas pengajaran dan kasih sayang yang diberikan orang tua selagi hidup. Ini berarti mata cahaya tidak hanya melihat nun jauh ke ruang pengembaraan abstraksi, tapi juga melihat ke dalam diri yang penuh konflik.
b) Kerinduan Perempuan Lajang Terhadap Pasangan HidupnyaAbstraksi yang paling banyak dilihat melalui Mata Cahaya adalah kerinduan pada seorang kekasih. Pengharapan akan hadirnya pasangan hidup. Penyuguhan berbeda dari puisi kerinduan ini adalah abstraksi yang mengarah pada kelompok tertentu. Kelompok dengan aturan mengikat hingga tidak bebas melangkah.
Mata Cahaya mengarahkan penglihatannya dengan memakai kata akhwatfillah pada puisi berjudul Untukmu, dan kata ukhtifillah pada puisi berjudul Bila Masanya Tiba. Dua puisi ini menggambarkan cara yang berbeda dalam menanti kekasih. Bukan cara biasa seperti banyak bepergian ke tempat ramai atau sering berselancar di media sosial, hingga bergabung dalam biro jodoh. Melainkan cara seorang muslimah yang menanti kekasih dengan tidak mengumbar kehormatannya. Bahkan puisi berjudul Temukan Aku dalam Istikharahmu lebih jauh lagi menggambarkan cara yang tidak biasa.
Cara-cara yang tidak biasa itu bukanlah untuk mempersulit diri. Melainkan upaya untuk tetap berada dalam koridor agama. Apa yang dinanti pun bukanlah sosok pendamping yang berasal dari kelas atas dalam strata sosial, melainkan insan yang dipilih berdasarkan pada ketentuan Allah. Pesan itu ditemukan di banyak puisi seperti Cinta Sederhana, Biarkan Cinta Menemukan Cinta, Cinta yang Terpilih, dan lainnya.
Penantian akan seorang pendamping hidup tidak hanya dilakukan dengan berdoa. Ada ikhtiar yang dilakukan. Mencari dalam jarak tertentu yang tergambar dalam puisi Sunyi di Langit Rindu. Pencarian yang lantas mengarah pada pertemuan singkat yang diceritakan dalam puisi berjudul Berdamai dengan Waktu. Puisi tersebut mewakili keresahan yang biasa dirasakan oleh seseorang yang tengah kasmaran. Waktu, menjadi sesuatu yang memaksa seseorang harus mengakhiri saat-saat terindah dengan orang yang dicintainya.
Tersebutkan pertemuan yang bergerak pada jawaban atas penantian. Seperti dalam puisi Janji Watervank. Namun dalam perjalanan berikutnya muncul keraguan saat dihadapkan dengan pertanyaan, apakah ia dipilihkan Allah untukku? Pertanyaan yang kemudian menjadikan penantian panjang hingga muncullah puisi Batas Penantian Itu.
2. Cara Menjalani Hari Bersama Kerinduan
Penantian itu terkadang melelahkan. Mata Cahaya menggambarkan itu melalui puisi Rinai Jatuh di Gigir Subuh. Cara yang ditempuh dalam mengatasi kelelahan itu digambarkan melalui puisi Pendaki Sejati, dan Savanna di Mahabiru. Dua puisi tersebut menggambarkan eksotika Gunung Rinjani, yang menjadi tempat merehatkan pikiran, termasuk bentuk pelarian atas keletihan yang melanda dalam penantian.
Mata Cahaya mengarahkan penglihatannya dengan memakai kata akhwatfillah pada puisi berjudul Untukmu, dan kata ukhtifillah pada puisi berjudul Bila Masanya Tiba. Dua puisi ini menggambarkan cara yang berbeda dalam menanti kekasih. Bukan cara biasa seperti banyak bepergian ke tempat ramai atau sering berselancar di media sosial, hingga bergabung dalam biro jodoh. Melainkan cara seorang muslimah yang menanti kekasih dengan tidak mengumbar kehormatannya. Bahkan puisi berjudul Temukan Aku dalam Istikharahmu lebih jauh lagi menggambarkan cara yang tidak biasa.
Cara-cara yang tidak biasa itu bukanlah untuk mempersulit diri. Melainkan upaya untuk tetap berada dalam koridor agama. Apa yang dinanti pun bukanlah sosok pendamping yang berasal dari kelas atas dalam strata sosial, melainkan insan yang dipilih berdasarkan pada ketentuan Allah. Pesan itu ditemukan di banyak puisi seperti Cinta Sederhana, Biarkan Cinta Menemukan Cinta, Cinta yang Terpilih, dan lainnya.
Penantian akan seorang pendamping hidup tidak hanya dilakukan dengan berdoa. Ada ikhtiar yang dilakukan. Mencari dalam jarak tertentu yang tergambar dalam puisi Sunyi di Langit Rindu. Pencarian yang lantas mengarah pada pertemuan singkat yang diceritakan dalam puisi berjudul Berdamai dengan Waktu. Puisi tersebut mewakili keresahan yang biasa dirasakan oleh seseorang yang tengah kasmaran. Waktu, menjadi sesuatu yang memaksa seseorang harus mengakhiri saat-saat terindah dengan orang yang dicintainya.
Tersebutkan pertemuan yang bergerak pada jawaban atas penantian. Seperti dalam puisi Janji Watervank. Namun dalam perjalanan berikutnya muncul keraguan saat dihadapkan dengan pertanyaan, apakah ia dipilihkan Allah untukku? Pertanyaan yang kemudian menjadikan penantian panjang hingga muncullah puisi Batas Penantian Itu.
2. Cara Menjalani Hari Bersama Kerinduan
Penantian itu terkadang melelahkan. Mata Cahaya menggambarkan itu melalui puisi Rinai Jatuh di Gigir Subuh. Cara yang ditempuh dalam mengatasi kelelahan itu digambarkan melalui puisi Pendaki Sejati, dan Savanna di Mahabiru. Dua puisi tersebut menggambarkan eksotika Gunung Rinjani, yang menjadi tempat merehatkan pikiran, termasuk bentuk pelarian atas keletihan yang melanda dalam penantian.
Cara selain dua puisi tersebut, ada pada puisi berjudul Andromeda, dan Merekalah Jiwa-jiwa Surga. Menyibukan diri dengan beragam aktivitas kadang dipilih untuk sejenak rehat dari pergolakan konflik batin yang mendera. Namun saat ada pada titik kulminasi di mana keinginan itu muncul kembali dengan sangat kuat—sementara keadaan belum juga berubah—maka hadirlah puisi Melankolis.
Meski menghadapi beragam keadaan yang mengguncang kesabaran, beberapa puisi menggambarkan ketegaran. Romansa Senja, Sajak Senja, Untukmu Hati, dan Madah Doa, merupakan puisi-puisi yang menggambarkan kepasrahan karena beragam kekecewaan. Pertautan ini menjadikan buku Mata Cahaya sangat relevan dengan keadaan yang sering dialami oleh banyak orang, terutama yang belum menikah.
Setelah menjelaskan ulasan tersebut, saya mencoba menanggapinya dalam konteks baik sesama penulis, penikmat sastra, juga pemerhati pasar pembaca. Saya menggariskan minat seseorang terhadap sebuah buku dalam tiga hal, di antaranya:
Meski menghadapi beragam keadaan yang mengguncang kesabaran, beberapa puisi menggambarkan ketegaran. Romansa Senja, Sajak Senja, Untukmu Hati, dan Madah Doa, merupakan puisi-puisi yang menggambarkan kepasrahan karena beragam kekecewaan. Pertautan ini menjadikan buku Mata Cahaya sangat relevan dengan keadaan yang sering dialami oleh banyak orang, terutama yang belum menikah.
Setelah menjelaskan ulasan tersebut, saya mencoba menanggapinya dalam konteks baik sesama penulis, penikmat sastra, juga pemerhati pasar pembaca. Saya menggariskan minat seseorang terhadap sebuah buku dalam tiga hal, di antaranya:
1) Kaidah
Tidak semua penikmat sastra memahami secara keseluruhan ilmu dari kesusasteraan. Namun khalayak bisa menilai meski bukan dengan bahasa pengetahuan sastra yang diajarkan di lingkungan pendidikan. Masyarakat bisa menilai sebuah buku itu baik atau buruk meski tidak memiliki penjelasan ilmiah. Saya pun menggariskan kaidah dalam alam pemikiran sebagian besar penikmat sastra, ke dalam dua pandangan.
Tidak semua penikmat sastra memahami secara keseluruhan ilmu dari kesusasteraan. Namun khalayak bisa menilai meski bukan dengan bahasa pengetahuan sastra yang diajarkan di lingkungan pendidikan. Masyarakat bisa menilai sebuah buku itu baik atau buruk meski tidak memiliki penjelasan ilmiah. Saya pun menggariskan kaidah dalam alam pemikiran sebagian besar penikmat sastra, ke dalam dua pandangan.
• Tampak:
Puisi memiliki aturannya sendiri. Bagi anda yang memahami pengetahuan kesusastraan, tentu anda akan lebih mudah menilai apakah sebuah puisi itu baik atau tidak. Apakah buku ini layak dibaca atau tidak. Namun bagi yang memiliki keterbatasan pun bisa menilai dari hal yang paling sederhana, yaitu aturan baku Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).
Saya mencatat ada dua kekeliruan dalam penulisan pada buku Mata Cahaya. Saya mencetak miring kekeliruan itu. Kekeliruan yang pertama adalah ejaan yang tidak sesuai. Seperti yang ada dalam larik, ‘guratan cintamu tlah kau pahat begitu cermat’(Lukisan kasih Matahati, hal 10). Dalam KBBI, telah berarti sudah, atau pernah. Tidak tertulis dalam KBBI jika kata telah boleh diganti menjadi tlah.
Kekeliruan yang kedua adalah pada penempatan imbuhan di- yang tidak tepat. Seperti pada larik, ‘jika ku tersudut diruang hampa bersanding hening’ (Romansa Senja, hal.55). Imbuhan di- yang menyatakan tempat harus dipisah. Serta pada larik, ‘menatap jauh dihamparan tanah yang ditumbuhi rumput halus’ (Pendaki Sejati, hal. 56). Pada larik tersebut tidak membedakan pemakaian imbuhan di- yang menunjuk tempat dan pekerjaan.
Puisi memiliki aturannya sendiri. Bagi anda yang memahami pengetahuan kesusastraan, tentu anda akan lebih mudah menilai apakah sebuah puisi itu baik atau tidak. Apakah buku ini layak dibaca atau tidak. Namun bagi yang memiliki keterbatasan pun bisa menilai dari hal yang paling sederhana, yaitu aturan baku Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).
Saya mencatat ada dua kekeliruan dalam penulisan pada buku Mata Cahaya. Saya mencetak miring kekeliruan itu. Kekeliruan yang pertama adalah ejaan yang tidak sesuai. Seperti yang ada dalam larik, ‘guratan cintamu tlah kau pahat begitu cermat’(Lukisan kasih Matahati, hal 10). Dalam KBBI, telah berarti sudah, atau pernah. Tidak tertulis dalam KBBI jika kata telah boleh diganti menjadi tlah.
Kekeliruan yang kedua adalah pada penempatan imbuhan di- yang tidak tepat. Seperti pada larik, ‘jika ku tersudut diruang hampa bersanding hening’ (Romansa Senja, hal.55). Imbuhan di- yang menyatakan tempat harus dipisah. Serta pada larik, ‘menatap jauh dihamparan tanah yang ditumbuhi rumput halus’ (Pendaki Sejati, hal. 56). Pada larik tersebut tidak membedakan pemakaian imbuhan di- yang menunjuk tempat dan pekerjaan.
• Tidak Tampak
Puisi, seperti juga karya sastra lainnya, tidak hanya terbentuk dari aturan baku yang mengikatnya, melainkan juga terletak pada ruh (rasa dan penghayatan). Sesuatu yang merasakan sebuah karya sastra itu terasa hidup. Kembali dalam kacamata khalayak, menafsirkan kesesuaian dan ketidaksesuaian dalam bahasa sederhana yaitu melalui rasa dan penghayatan.
Seluruh puisi dalam Mata Cahaya mengandung penghayatan yang mendalam sehingga pembaca pun ikut meraba perasaan penyairnya. Namun sepertihalnya pada kaidah yang tampak, saya pun menemukan sedikit kejanggalan pada larik, ‘kasihmu membias mengurai pelangi’ (Epilog Kuntum Rindu, hal.9). Puisi itu menggambarkan gerimis di pagi buta. Pertanyaannya adalah apakah pelangi bisa muncul di pagi buta? Meski satu kata mengandung banyak makna, namun ada yang mengganjal dalam rasa.
Puisi, seperti juga karya sastra lainnya, tidak hanya terbentuk dari aturan baku yang mengikatnya, melainkan juga terletak pada ruh (rasa dan penghayatan). Sesuatu yang merasakan sebuah karya sastra itu terasa hidup. Kembali dalam kacamata khalayak, menafsirkan kesesuaian dan ketidaksesuaian dalam bahasa sederhana yaitu melalui rasa dan penghayatan.
Seluruh puisi dalam Mata Cahaya mengandung penghayatan yang mendalam sehingga pembaca pun ikut meraba perasaan penyairnya. Namun sepertihalnya pada kaidah yang tampak, saya pun menemukan sedikit kejanggalan pada larik, ‘kasihmu membias mengurai pelangi’ (Epilog Kuntum Rindu, hal.9). Puisi itu menggambarkan gerimis di pagi buta. Pertanyaannya adalah apakah pelangi bisa muncul di pagi buta? Meski satu kata mengandung banyak makna, namun ada yang mengganjal dalam rasa.
2) Kreativitas
Terkadang timbul kekhawatiran dalam diri seorang penyair karena takut terhadap sesuatu. Ketakutan yang akhirnya mengabaikan rasa dan penghayatan yang menjadi ruh puisi. Alih-alih menuliskan puisi indah, ketakutan yang berlebihan justru menjadikan penyair layaknya anak sekolah yang terkurung krativitasnya karena takut terkena sanksi tersebab melakukan kesalahan.
Ada pula penyair yang memperlihatkan daya kreativitasnya dengan bereksperimen. Berbagai gaya dibuat dengan harapan memberi kesan berbeda, dan lebih jauh ingin dikatakan menonjol. Namun eksperimen yang tak mengindahkan aturan serta setengah hati memahami rasa dan penghayatan, justru membuat sang penyair malah menghasilkan tulisan yang keluar dari konteks sastra.
Tentang kreativitas dalam hal rasa dan penghayatan, Erika Ayesha jeli menempatkannya. Puisi-puisi yang mewakili gambaran perasaan sangat terasa ruh-nya. Ruh yang bisa membuat pembaca tersenyum, menangis, atau tersindir, sebagaimana gambaran puisi tersebut. Namun catatan diberikan pada gaya eksperimen pada puisi Metamorfosis Sempurna, hal.12.
Dalam puisi tersebut ada penambahan kosa kata asing seperti kata endospora dalam larik, ‘biarlah endospora kasih ini kujaga terkatup rapat’. Itu menunjukan kreativitas sang penyair. Namun harus hati-hati karena tidak semua orang mengetahui arti kata endospora. Terlebih tidak semua orang bisa menilai baik pemakaian kata-kata asing. Apalagi jika kosakata asing itu ditulis secara terang-terangan seperti penggunaan kata autotomi dalam larik, ‘walau cintamu itu ber-autotomi … bagiku hanya satu kali saja bertunas’. Ber-autotomi, mencampurkan imbuhan dengan kosa kata asing.
Terkadang timbul kekhawatiran dalam diri seorang penyair karena takut terhadap sesuatu. Ketakutan yang akhirnya mengabaikan rasa dan penghayatan yang menjadi ruh puisi. Alih-alih menuliskan puisi indah, ketakutan yang berlebihan justru menjadikan penyair layaknya anak sekolah yang terkurung krativitasnya karena takut terkena sanksi tersebab melakukan kesalahan.
Ada pula penyair yang memperlihatkan daya kreativitasnya dengan bereksperimen. Berbagai gaya dibuat dengan harapan memberi kesan berbeda, dan lebih jauh ingin dikatakan menonjol. Namun eksperimen yang tak mengindahkan aturan serta setengah hati memahami rasa dan penghayatan, justru membuat sang penyair malah menghasilkan tulisan yang keluar dari konteks sastra.
Tentang kreativitas dalam hal rasa dan penghayatan, Erika Ayesha jeli menempatkannya. Puisi-puisi yang mewakili gambaran perasaan sangat terasa ruh-nya. Ruh yang bisa membuat pembaca tersenyum, menangis, atau tersindir, sebagaimana gambaran puisi tersebut. Namun catatan diberikan pada gaya eksperimen pada puisi Metamorfosis Sempurna, hal.12.
Dalam puisi tersebut ada penambahan kosa kata asing seperti kata endospora dalam larik, ‘biarlah endospora kasih ini kujaga terkatup rapat’. Itu menunjukan kreativitas sang penyair. Namun harus hati-hati karena tidak semua orang mengetahui arti kata endospora. Terlebih tidak semua orang bisa menilai baik pemakaian kata-kata asing. Apalagi jika kosakata asing itu ditulis secara terang-terangan seperti penggunaan kata autotomi dalam larik, ‘walau cintamu itu ber-autotomi … bagiku hanya satu kali saja bertunas’. Ber-autotomi, mencampurkan imbuhan dengan kosa kata asing.
3) Keistimewaan
Puisi memiliki beragam jenis dengan segmentasi peminat yang beraneka. Puisi-puisi dalam Mata Cahaya memiliki keistimewaan dengan pesan-pesan yang disampaikan. Beberapa puisi menegaskan hal itu dengan pemilihan kata, seperti pemakaian kata Akhwathfillah, dan ukhtifillah.
Seperti yang sempat disinggung di bagian awal, cobalah perhatikan pemilihan kata akhwatfillah pada larik, ‘akhwatfillah, bagai edelweiss dirimu indah terjaga’ (Untukmu, hal.32). Serta pemilihan kata ukhtifillah pada larik, ‘ukhtifillah, bidadari dunia calon penghuni surga, bila dirimu dalam penantian, jadikanlah penantian itu jalan menuju keberkahan’ (Bila Masanya Tiba, hal.22). Pada puisi yang lain pun terdapat penegasan ciri khas seperti adanya kata Mitsaqon Ghalizah, dan seringnya penyair menyematkan kata azzam pada tiap-tiap lariknya.
Apa yang dituliskan tersebut memberi gambaran secara keseluruhan tentang keistimewaan pada Mata Cahaya. Merujuk pada perkataan sastrawan dunia, Jalaludin Rumi, bahwa, “tidak semua dapat dilihat oleh mata lahir. Ada beberapa hal yang hanya bisa dilihat oleh mata batin. Dan itu tergantung dari caramu membersihkan hatimu.”
Segala yang dikerjakan manusia merupakan bentuk dari usaha memahami kebenaran. Dan sebagai Hamba Tuhan, tentunya segala yang dilakukan semata untuk mengabdi padaNya. Hingga muncullah peribahasa yang berbunyi, ‘tidak ada gading yang tidak retak.’ Ulasan saya, bukanlah sebuah klaim atas sebuah kebenaran. Melainkan usaha untuk menggunakan kemampuan menjadi sesuatu yang bermanfaat.
Semoga ulasan ini bermanfaat.[]
Puisi memiliki beragam jenis dengan segmentasi peminat yang beraneka. Puisi-puisi dalam Mata Cahaya memiliki keistimewaan dengan pesan-pesan yang disampaikan. Beberapa puisi menegaskan hal itu dengan pemilihan kata, seperti pemakaian kata Akhwathfillah, dan ukhtifillah.
Seperti yang sempat disinggung di bagian awal, cobalah perhatikan pemilihan kata akhwatfillah pada larik, ‘akhwatfillah, bagai edelweiss dirimu indah terjaga’ (Untukmu, hal.32). Serta pemilihan kata ukhtifillah pada larik, ‘ukhtifillah, bidadari dunia calon penghuni surga, bila dirimu dalam penantian, jadikanlah penantian itu jalan menuju keberkahan’ (Bila Masanya Tiba, hal.22). Pada puisi yang lain pun terdapat penegasan ciri khas seperti adanya kata Mitsaqon Ghalizah, dan seringnya penyair menyematkan kata azzam pada tiap-tiap lariknya.
Apa yang dituliskan tersebut memberi gambaran secara keseluruhan tentang keistimewaan pada Mata Cahaya. Merujuk pada perkataan sastrawan dunia, Jalaludin Rumi, bahwa, “tidak semua dapat dilihat oleh mata lahir. Ada beberapa hal yang hanya bisa dilihat oleh mata batin. Dan itu tergantung dari caramu membersihkan hatimu.”
Segala yang dikerjakan manusia merupakan bentuk dari usaha memahami kebenaran. Dan sebagai Hamba Tuhan, tentunya segala yang dilakukan semata untuk mengabdi padaNya. Hingga muncullah peribahasa yang berbunyi, ‘tidak ada gading yang tidak retak.’ Ulasan saya, bukanlah sebuah klaim atas sebuah kebenaran. Melainkan usaha untuk menggunakan kemampuan menjadi sesuatu yang bermanfaat.
Semoga ulasan ini bermanfaat.[]
Majalaya, 19 Maret 2015
Yadi Karyadipura
Penulis lepas
Yadi Karyadipura
Penulis lepas