PUISI: Di Setasiun Paling Duka
DI SETASIUN PALING DUKA
di setasiun paling duka,
meringkuk aku di peron yang digenangi tangis.
kereta satu gerbong itu, tanpa masinis tanpa operator
siap memberangkatkannya.
lalu, bersama laju yang diringi tahlil, mataku membengkak
memandangi hiruk pikuk peziarah,
menghitung belasungkawa yang tak kunjung reda.
di setasiun paling duka,
kusisipkan nama pada angin yang mulai kandas
meninggalkan aroma tubuhnya sendiri,
sebelum dia sampai pada kediaman abadi.
allahummaghfirlahu warkhamhu waafihi wa’fuanhu
Semarang, 2012
SOROT MATA DI BATU NISAN
pada batu nisan depanku ini, aku melihat sorot mata
yang menyala. seperti cahaya matahari yang menyelinap di antara lubang
dinding anyaman bambu, dan kami berlarian di dalamnya
beberapa tahun lalu.
saudaraku, sekalipun kemiskinan melilit hati kita waktu itu,
nurani yang kita miliki tak kalah indah dari rumput tanah kuburmu. aku selalu
berkhayal rebahan di atasnya setiap kali merindu.
jika kau tanya mengapa diriku setenang ini,
akan kuceritakan perihal operasi kedua bola mata ibu yang lebih ngeri
daripada ketakutan yang kita miliki.
ah, tak putusputusnya kupandangi nyala mata yang berpantulan
dari nisan depanku ini, kemudian kualirkan doa dalam kesendirianku.
—allahumma latakhrimna ajrohu, wala taftinna ba’dahu, waghfirlana walahu
Tuban, 2013
di setasiun paling duka,
meringkuk aku di peron yang digenangi tangis.
kereta satu gerbong itu, tanpa masinis tanpa operator
siap memberangkatkannya.
lalu, bersama laju yang diringi tahlil, mataku membengkak
memandangi hiruk pikuk peziarah,
menghitung belasungkawa yang tak kunjung reda.
di setasiun paling duka,
kusisipkan nama pada angin yang mulai kandas
meninggalkan aroma tubuhnya sendiri,
sebelum dia sampai pada kediaman abadi.
allahummaghfirlahu warkhamhu waafihi wa’fuanhu
Semarang, 2012
SOROT MATA DI BATU NISAN
pada batu nisan depanku ini, aku melihat sorot mata
yang menyala. seperti cahaya matahari yang menyelinap di antara lubang
dinding anyaman bambu, dan kami berlarian di dalamnya
beberapa tahun lalu.
saudaraku, sekalipun kemiskinan melilit hati kita waktu itu,
nurani yang kita miliki tak kalah indah dari rumput tanah kuburmu. aku selalu
berkhayal rebahan di atasnya setiap kali merindu.
jika kau tanya mengapa diriku setenang ini,
akan kuceritakan perihal operasi kedua bola mata ibu yang lebih ngeri
daripada ketakutan yang kita miliki.
ah, tak putusputusnya kupandangi nyala mata yang berpantulan
dari nisan depanku ini, kemudian kualirkan doa dalam kesendirianku.
—allahumma latakhrimna ajrohu, wala taftinna ba’dahu, waghfirlana walahu
Tuban, 2013
ANAK KECIL DI ATAS KUBURAN
ada anak kecil rebahan di atas kuburan. sambil memainkan kipas
ia menatap kosong segerombolan orang yang datang dan pulang
dari pintu yang sama. sedangkan ibu dan bapaknya, di sebelah nisan
tanpa nama bersimpuh air mata.
“pada siapa bapak dan ibu menangis?”
tanya anak kecil itu, kemudian duduk di pangkuan ibu.
Tuban, 2013
DOA MENJELANG KEHANCURAN
bumi siapa yang kupijak. air siapa mengaliri tubuh.
hidup adalah muaranya segala dosa. mata penangkap cahaya kurnia. apabila yang kulakukan benar, dari mana datangnya kebenaran. apabila murka, di mana muaranya.
Allah,
tunjukkan aku jalan menuju tanahMu. tempat segala yang hidup dipertanyakan.
Serang, 2014
MAYAT TANPA SYAHADAT
kemana pikiran warasku ketika nafsu tenggelam dalam bir?
bahkan bayangbayang meninggalkan diriku tanpa sepatah salam,
bagai usungan mayat tanpa syahadat.
biarkan aku di sini, di lantai berdebu dengan sorot mata hening
memandangi malaikat yang ramairamai memburuku. sungguh jiwaku
yang liar dan dungu butuh semacam cahaya yang mantul dari botol bir
yang kau suling. tanpa bentuk dan rupa di mata kita.
Tuban, 2013
SATU MALAM DI DEPAN VIHARA
lagilagi kau mengajakku berebut peran sebelum digalikan kubur. satu malam,
di tepi pantai depan vihara, kau menabur aroma dupa serupa ucapan selamat datang
menyambut nasib dengan tenang.
namun, pada malam yang lain, di tepian yang jauh
kau mengajakku menghitung orangorang yang selalu bersilangan.
meratapi kengerian takdir dengan penuh ketakutan.
ah...
Tuban, 2013
MENYUNTING KEMATIAN
ada darah berderak dalam tubuh. beberapa tarikan napas berusaha mematahkan lelah,
bagai senja dilelehkan magrib tanpa arah. diamdiam saraf mengeluh, menyilang demikian panjang, seperti pendemo berjejal di tempattempat ibadah meminta kebebasan:
“wahai tuhan tanpa alamat, wahai tuhan tanpa tujuan, apakah kau tak melihat
gizi buruk merayap mencari payudara?”
malam demam, doadoa membelukar, mencaci dirinya sendiri. demikian tabahkah aku
bila langit patah dan hujan berjatuhan, berebut menyunting kematian.
jauh ke barat, sebelum tuhan ingkar pada sejarah dan melemparku pada lelah,
punggung telah menyimpan seribu keluh: “khianati saja debu yang menempel di pipi.
terlalu lama kita menunggu doa meledakkan seribu tawa!”
tubuh benarbenar merintih
sedang tuhan memuji dirinya sendiri.
Bangilan, 2012
PESAN DARI KOTA RANTAU
: Moestajab
suatu malam di Share House,
di tempat berserakan mimpi-mimpi
tiba-tiba kantongku bergetar—seperti ada panggilan.
“nak, semakin tinggi pohon semakin kencang
angin menerpa. menguning daunnya. ranting mengerut
lalu patah. berhati-hatilah, oh anakku.”
kata bapak dengan suara renta seperti
menahan terkaman ngilu di antara tulang-tulangnya
di kota rantau Kalimantan sana.
belum selesai aku menghela napas panjang
tibatiba tanganku gemetar, bergetarlah pula
air mataku di lantai.
Tuban, 2013
BIAR KUZIARAHI SENDIRI
Tuhan, setiap kali membaca ayatayatMu aku terusik ingatan yang tak pernah kupanggil kehadirannya. tibatiba saja silaku mengambang di perairan air mata, terdampar di semak belukar pemahaman yang tak pernah kutemu apa artinya.
hidup katanya fana, tapi kenapa mereka selalu mengarunginya. orangorang bilang firmanMu adalah nyanyian katakata yang melantun dari titik awal kehidupan, namun mulutnya tak pernah sampai pada awal nadanya.
Tuhan, bertahuntahun kulabuhi orangorangMu. mereka bermata jernih ucapanya lirih. kadang kuanggap matahari yang lewat mengarah pada keesaan dan kesucian, karena gemar menulis sajak dan membacanya di mimbarmimbar. tapi kenapa hidupnya anyir di lidah sendiri.
hidup ini memang fana, seperti yang mereka kata bagai mampir minum saja. sementara kegemaranya menyusuri jalan dengan menabur sajak dan kehendak menyusup kerumahku, mengunyah perapian tulang dan daging. bila malam tiba mereka menjelma tarian dalam diamku sambil membaca sajak dengan linang air mata.
Tuhan, sejatinya engkau tahu dzikirku ini adalah kesalahpahaman, kenaifan yang mendengung dalam kobaran dendam. sebab tak sekali dua kali kujumpa mereka terpasung sajaknya sendiri yang terpajang di dinding istana. sejatinya Engkau tahu apa yang kutulis adalah riak yang membusuk di pekarangan dada. sebab kesungsangan hidup hanya menjadi tabungan katakata yang kelak kubaca dengan membusungkan dada.
aku mulai mencium aroma ayatayatMu dan beberapa kematian yang terhidang di telapak doa. biarlah. biar kegelisahan ini terkubur di tikungan garis tanganku. biar kuziarahi sendiri.
Serang, 2015
MENGHARAP SABARMU
dengan menyeru namaMu, wahai pemilik jagat, aku akan menjelma tabir yang mengalir dari segala takdir. “bismika Allohumma akhya wa amuut.” setumpuk harap kuikat dengan yakin sebagai perbekalan menuju pintu rumahku, karena di luar kujumpa manusia saling berebut riuh melebihi firmanMu, seperti deru tepuk tangan seusai mubaligh ceramah dengan garang. namun kerap riuhku sendiri lahir melebihi gemuruh angin dan hatiku pun tak jarang membatu, mencurigaiMu, oh pemilik kutuk.
dengan menyeru namaMu, wahai pemilik arah, aku ingin Kau tunjukkan jalan menuju rumah. rumah tempat kita bersua: rumah yang memahat namaku di batu sebagai tanda bahwa kita sudah bertemu.
namun, duh aku melumat dalam duka. kunci untuk memasuki terjatuh sewaktu aku sampai di persimpangan hidup yang dipenuhi mimpimimpi, sesak oleh kerakusan dan keangkuhanku sendiri. kuharap kau tak murka dan barang sejenak sabar menunggu datangku. aku akan kembali mencari dan kubuka pintu selebarnya untuk perjamuan kita.
Serang, 2015
ZIARAH KEGELISAHAN
badanku gletak di lantai. kutaruh kepalaku di kolong meja tv, dalam ruangan yang gelap kuziarahkan mataku pada harapan yang mengambang di udara.
sayang sekali ketika aku mulai mengubur diri dalam harapan tibatiba dipaksa bangun, duduk di antara para pecinta yang berduka dan merana. sementara ruang pemisah yang luas membuatku tak mampu menjangkau jantung mereka yang tercecer.
malam itu, dengki dan hina mencabikcabik, memukulmukul, melintas tiada henti. dari seluruh kehidupan di sekelilingku hingga kiai dan ilmu mereka kutuk.
oh, tak ada bicara dalam diam. tak ada kesudahan dalm akhir. kulalui hingga larut malam, kemudian kutuliskan sebua doa sepanjang hari dengan hatihati yang diujungnya kuselipkan gelisah. semoga tak ada karma.
Serang, 2015
*Ahmad Moehdor al-Farisi, penyair dan esais dari Rembang, Jawa Tengah. Penulis buku Intelektualitas, Agama dan Karya (2014). Kini mengajar Sastra Indonesia di Pon. Pes. Daar el-Qolam 3, Jayanti, Tangerang.