PUISI: Penoreh Getah Hulu Sungai
PENOREH GETAH HULU SUNGAI
tunduknya sederetan pohon karet di tanah hulu sungai ini
adalah sebagai kerendahan dirinya kepada kaum penoreh
penduduk bertopi purun; anyaman berbahan rotan tipis-tipis
mereka sudah sangat pandai-lihai sekali membeda-bedakan,
yang mana suara tangis kuyang[1] juga suara jejangkrik hutan
si galuh[2] kecil selalu ingin membawa sendiri, menaruh sendiri
menuang sendiri, mengumpulkan sendiri; tempurung getah
dihadang bilik-bilik napas agar tiada serpih kayu maupun
serangga yang terkantuk jatuh ke dalam wadah kelapa itu
nang uma bilang kada kataguran lagi hudah mamadahinya[3]
anak ibu jangan main jauh-jauh ke rimba sunyi yang terkam
di sana dijadikan pukat racun dan belerang sama sengatnya
lebih baik halu anak-anak itik menggiring senja ke kandang
lepas itu barulah galuh berpupur dan mengaji di surau bakti
agar esok ubah posisi tempurung-tempurung sunyi luka kita
Ds, 2015
1) kuyang: hantu pemakan ari-ari bayi
2) galuh: panggilan orang tua kepada anak perempuannya
3) banjar: si ibu sudah terlalu sering menegur dan menasehatinya
CUPANG BIRU
dalam akuarium kecil
sosok kecil mencari-cari sesuatu
mungkin itu hidup, mungkin itu nyawa
di tempat yang tak jauh dari akuarium
seekor anak kucing bermain dengan laron penghujan
ia kehilangan tawa sejak lahir
2015
SETELAH LIMA MENIT
setelah lima menit, kau pulang dan undur berpamit
sebelum bulan menghamburkan apapun diperanakkan
; sawo, ilalang, kijang, peperangan rajam
tetapi sepintas, lantas kita lupa bertukar madu
2015
KARIANGAU
di ambang dermaga ini,
kau pernah berkisah tentang selatmu yang sudah sekian lama
tak ada satu pun kapal maupun perahu yang tandas berlabuh ke lidah pantai
hanya kapal-kapal penarik batu bara yang sekadar mendedah lewat
di tanahmu, terdengar kabar bahwa darah dan arus sungai berada
satu jalan dengan sampan nelayan-nelayan miskin
cekikik anak-anak yang berlompatan dari batang
dan ibu-ibu yang membasuh luka deritanya
amis dan anyir!
2015
LAGU PERJALANAN
di luar, kaca busway yang kutumpangi kian mengembun
pepohonan basah, pun dedahannya yang gelisah
lantas, bisikmu: rindu kita terlalu latah
perjalanan kali ini, bisa saja kucuri napas hujan
tanpa rela aku berbagi kepada siapa yang menengadah
kuyup basah ini, kutempuh sendiri
untuk siapa pun yang kerap masih memikirkan
untung-rugi, hati siapa yang tak bersinggungan?
2015
CARA TERBAIK MENIKMATI HUJAN
“Kau tahu bagaimana cara terbaik menikmati hujan?”
tanyamu suatu ketika, aku bisu, kau semakin ingin tahu
“Kau tahu bagaimana cara terbaik melukis purnama?”
lagi, tanyamu suatu hari, aku tergugu, kau semakin keras kepala
jika apa pun selayak bunga rampai dengan sisa wangi kembara
maka sudah berapa banyak cinta kita yang lupa tersebutkan?
2015
tunduknya sederetan pohon karet di tanah hulu sungai ini
adalah sebagai kerendahan dirinya kepada kaum penoreh
penduduk bertopi purun; anyaman berbahan rotan tipis-tipis
mereka sudah sangat pandai-lihai sekali membeda-bedakan,
yang mana suara tangis kuyang[1] juga suara jejangkrik hutan
si galuh[2] kecil selalu ingin membawa sendiri, menaruh sendiri
menuang sendiri, mengumpulkan sendiri; tempurung getah
dihadang bilik-bilik napas agar tiada serpih kayu maupun
serangga yang terkantuk jatuh ke dalam wadah kelapa itu
nang uma bilang kada kataguran lagi hudah mamadahinya[3]
anak ibu jangan main jauh-jauh ke rimba sunyi yang terkam
di sana dijadikan pukat racun dan belerang sama sengatnya
lebih baik halu anak-anak itik menggiring senja ke kandang
lepas itu barulah galuh berpupur dan mengaji di surau bakti
agar esok ubah posisi tempurung-tempurung sunyi luka kita
Ds, 2015
1) kuyang: hantu pemakan ari-ari bayi
2) galuh: panggilan orang tua kepada anak perempuannya
3) banjar: si ibu sudah terlalu sering menegur dan menasehatinya
CUPANG BIRU
dalam akuarium kecil
sosok kecil mencari-cari sesuatu
mungkin itu hidup, mungkin itu nyawa
di tempat yang tak jauh dari akuarium
seekor anak kucing bermain dengan laron penghujan
ia kehilangan tawa sejak lahir
2015
SETELAH LIMA MENIT
setelah lima menit, kau pulang dan undur berpamit
sebelum bulan menghamburkan apapun diperanakkan
; sawo, ilalang, kijang, peperangan rajam
tetapi sepintas, lantas kita lupa bertukar madu
2015
KARIANGAU
di ambang dermaga ini,
kau pernah berkisah tentang selatmu yang sudah sekian lama
tak ada satu pun kapal maupun perahu yang tandas berlabuh ke lidah pantai
hanya kapal-kapal penarik batu bara yang sekadar mendedah lewat
di tanahmu, terdengar kabar bahwa darah dan arus sungai berada
satu jalan dengan sampan nelayan-nelayan miskin
cekikik anak-anak yang berlompatan dari batang
dan ibu-ibu yang membasuh luka deritanya
amis dan anyir!
2015
LAGU PERJALANAN
di luar, kaca busway yang kutumpangi kian mengembun
pepohonan basah, pun dedahannya yang gelisah
lantas, bisikmu: rindu kita terlalu latah
perjalanan kali ini, bisa saja kucuri napas hujan
tanpa rela aku berbagi kepada siapa yang menengadah
kuyup basah ini, kutempuh sendiri
untuk siapa pun yang kerap masih memikirkan
untung-rugi, hati siapa yang tak bersinggungan?
2015
CARA TERBAIK MENIKMATI HUJAN
“Kau tahu bagaimana cara terbaik menikmati hujan?”
tanyamu suatu ketika, aku bisu, kau semakin ingin tahu
“Kau tahu bagaimana cara terbaik melukis purnama?”
lagi, tanyamu suatu hari, aku tergugu, kau semakin keras kepala
jika apa pun selayak bunga rampai dengan sisa wangi kembara
maka sudah berapa banyak cinta kita yang lupa tersebutkan?
2015
TULANG IKAN
tulang ikan kulempar ke bawah meja
dua kucing memperebutkan, saling cakar
kulempar seorang purnama ke langit
dua lelaki berseteru, saling tikam-menikam
tak perlu membodohi diri sendiri
kita dapat memungut purnama lain
di selembar daun kelor
2015
UPACARA PUISI-PUISI
pohon putih, serupa peti kayu yang diimbuhi bunga-bunga padma
tenanglah, sedang kumandikan puisimu dari kata sekadar dan picisan
jejak kaki orang dulu. jejak yang selalu menyebutkan
nama lengkapnya dengan api dan sembilu
aku mencintai puisi-puisimu yang terbuat dari semak air
2015
RAMAH WEDA
“O cit sakhyam sakhya vavrtyam”
jangan kecut raut lentera
jangan pahit senyum lentera
jangan kesal hati lentera
kita adalah lentera; lentera cahaya
kemari untuk berjabat salam
telah kupersiapkan perjamuan
manis rona kembang dan bunga
2015
Imam Budiman, kelahiran Samarinda, Kalimantan Timur, Peraih Student Achievement Award 2015, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, kategori karya sastra. Buku kumpulan puisinya: Perjalanan Seribu Warna (2014).
tulang ikan kulempar ke bawah meja
dua kucing memperebutkan, saling cakar
kulempar seorang purnama ke langit
dua lelaki berseteru, saling tikam-menikam
tak perlu membodohi diri sendiri
kita dapat memungut purnama lain
di selembar daun kelor
2015
UPACARA PUISI-PUISI
pohon putih, serupa peti kayu yang diimbuhi bunga-bunga padma
tenanglah, sedang kumandikan puisimu dari kata sekadar dan picisan
jejak kaki orang dulu. jejak yang selalu menyebutkan
nama lengkapnya dengan api dan sembilu
aku mencintai puisi-puisimu yang terbuat dari semak air
2015
RAMAH WEDA
“O cit sakhyam sakhya vavrtyam”
jangan kecut raut lentera
jangan pahit senyum lentera
jangan kesal hati lentera
kita adalah lentera; lentera cahaya
kemari untuk berjabat salam
telah kupersiapkan perjamuan
manis rona kembang dan bunga
2015
Imam Budiman, kelahiran Samarinda, Kalimantan Timur, Peraih Student Achievement Award 2015, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, kategori karya sastra. Buku kumpulan puisinya: Perjalanan Seribu Warna (2014).