CERPEN: Pencarian Masa Lalu
Neraka dalam mata Kamu menyala, membakar seluruh kepercayaannya padaku. Aku berlari menjauhinya, mencari tempat perlindungan yang aman. Menjauhi terminal, toko-toko ber-etalase bening, teman-teman sepermainan-seprofesi, kendaraan-kendaraan, jalan raya, kota ... sampai aku tiba di suatu area yang kusebut sebagai lahan pertempuran. Di sana aku hidup bertahun-tahun mengasing diri dari kebisingan atau pun kelengangan. Aku pun tak tahu tempat itu namanya apa.
***
Aku lahir di tong sampah. Tubuhku dibungkus plastik hitam, bukan karung. Sejak lahir aku menangisi status yang tak jelas. Kata teman-teman pencopet, pemulung, pengemis, penjambret, aku ditemukan oleh seorang lelaki bernama Kamu. Lelaki itu bertubuh kurus, ceking, dan jalannya patah-patah.
“Ah, masa?” aku ragu-ragu dalam umur 12 tahun, ketika pertama diceritakan hal semacam itu.
“Benar.”
“Apanya yang benar?”
“Kamu menemukanmu menangis sendirian di tong sampah. Ia memungutmu dan membawa ke rumah kardus. Di sana kau dibesarkan. Setiap hari, rumah kardus tempatmu bernaung, selalu didatangi oleh pemulung, pencopet, penjambret, pedagang asongan, atau gelandangan seperti kami. Patungan untuk membeli sebotol susu agar kau tak lagi menangis.”
“Ah, masa?”
“Kalau tak percaya, tanya saja sama Kamu.”
“Aku juga tak percaya pada Kamu.”
“Kalau begitu, tanya saja pada Tuhan.”
“Aku tak berani. Nanti disambar gelegek, mati aku.”
Begitulah percakapan yang selalu kusebut omong kosong. Aku terkatung-katung tanpa arah setelah mendengar penuturan itu. Apakah Kamu tahu aku berasal dari mana? Apakah Kamu tahu mengapa aku sampai lahir di tong sampah? Apakah Kamu tahu, aku dibuang, atau memang dilahirkan bukan dari rahim dunia ini? Kamu tak tahu, aku yakin. Aku yakin, bahwa Kamu-lah satu-satunya orangtuaku.
Mengenai ibuku, mungkin dia seorang pelacur yang kebetulan mendekati Kamu dan tumpahlah cairan pekat membentukku dalam rahim kotor itu. Ibu hamil dan mengeluarkanku di sembarang tempat, seperti para pelacur lain yang selama hidupnya tak bisa lepas dari kehidupan jalanan. Hidup bersama Kamu hanya akan membuatnya mati muda. Kembali ke rumah bordil, itu jalan yang terbaik bagi manusia kotor atau manusia jalanan untuk bertahan hidup.
Sejak kecil aku tidak pernah melihat ibuku. Jadi aku mengarang cerita itu agar terdengar masuk akal. Tidak mungkin aku tiba-tiba saja lahir di dunia seperti turunnya Adam dan Hawa akibat memakan buah terlarang. Lagipula, aku bukan nabi, dan akulah buah terlarang itu, yang kemudian diletakkan di rumah kardus oleh Kamu. Lalu dirawat Kamu sampai besar, sampai cukup punya otak untuk mengarang cerita sendiri agar pikiranku tak terpengaruh oleh omongan teman-teman jalananku.
Aku tak pernah berbicara dengan Kamu, karena ia bisu. Tapi Kamu banyak mengajariku hal-hal penting untuk bertahan hidup. Seperti mengamen dengan kecrek yang terbuat dari tutup botol digepengkan dan dijepit kawat-kawat tak terpakai di tempat sampah. Tak penting seburuk apa alat yang digunakan oleh pengamen, katanya dalam bahasa isyarat. Yang penting kalau suara merdu dan sesuai ketukan nada, bisnis ngamen beres.
Kamu memang tak pernah mengamen, karena ia bisu. Sehari-hari ia hanya memulung botol-botol bekas, plastik, atau pun benda yang bisa didaur-ulang dari jalan ke jalan, tong sampah ke tong sampah, kompleks ke kompleks, sudut ke sudut ... tapi ia mampu mengajariku cara-cara mengamen yang beretika.
Suatu kali menjelang usia dua puluh tahun, aku memberanikan diri menanyakan tentang asal-usulku. Toh, walau aku sudah mengarang cerita sebaik mungkin, rahasia atas realita itu sendiri selalu mengundang penasaran. Apa benar aku lahir di tong sampah?
***
Aku lahir di tong sampah. Tubuhku dibungkus plastik hitam, bukan karung. Sejak lahir aku menangisi status yang tak jelas. Kata teman-teman pencopet, pemulung, pengemis, penjambret, aku ditemukan oleh seorang lelaki bernama Kamu. Lelaki itu bertubuh kurus, ceking, dan jalannya patah-patah.
“Ah, masa?” aku ragu-ragu dalam umur 12 tahun, ketika pertama diceritakan hal semacam itu.
“Benar.”
“Apanya yang benar?”
“Kamu menemukanmu menangis sendirian di tong sampah. Ia memungutmu dan membawa ke rumah kardus. Di sana kau dibesarkan. Setiap hari, rumah kardus tempatmu bernaung, selalu didatangi oleh pemulung, pencopet, penjambret, pedagang asongan, atau gelandangan seperti kami. Patungan untuk membeli sebotol susu agar kau tak lagi menangis.”
“Ah, masa?”
“Kalau tak percaya, tanya saja sama Kamu.”
“Aku juga tak percaya pada Kamu.”
“Kalau begitu, tanya saja pada Tuhan.”
“Aku tak berani. Nanti disambar gelegek, mati aku.”
Begitulah percakapan yang selalu kusebut omong kosong. Aku terkatung-katung tanpa arah setelah mendengar penuturan itu. Apakah Kamu tahu aku berasal dari mana? Apakah Kamu tahu mengapa aku sampai lahir di tong sampah? Apakah Kamu tahu, aku dibuang, atau memang dilahirkan bukan dari rahim dunia ini? Kamu tak tahu, aku yakin. Aku yakin, bahwa Kamu-lah satu-satunya orangtuaku.
Mengenai ibuku, mungkin dia seorang pelacur yang kebetulan mendekati Kamu dan tumpahlah cairan pekat membentukku dalam rahim kotor itu. Ibu hamil dan mengeluarkanku di sembarang tempat, seperti para pelacur lain yang selama hidupnya tak bisa lepas dari kehidupan jalanan. Hidup bersama Kamu hanya akan membuatnya mati muda. Kembali ke rumah bordil, itu jalan yang terbaik bagi manusia kotor atau manusia jalanan untuk bertahan hidup.
Sejak kecil aku tidak pernah melihat ibuku. Jadi aku mengarang cerita itu agar terdengar masuk akal. Tidak mungkin aku tiba-tiba saja lahir di dunia seperti turunnya Adam dan Hawa akibat memakan buah terlarang. Lagipula, aku bukan nabi, dan akulah buah terlarang itu, yang kemudian diletakkan di rumah kardus oleh Kamu. Lalu dirawat Kamu sampai besar, sampai cukup punya otak untuk mengarang cerita sendiri agar pikiranku tak terpengaruh oleh omongan teman-teman jalananku.
Aku tak pernah berbicara dengan Kamu, karena ia bisu. Tapi Kamu banyak mengajariku hal-hal penting untuk bertahan hidup. Seperti mengamen dengan kecrek yang terbuat dari tutup botol digepengkan dan dijepit kawat-kawat tak terpakai di tempat sampah. Tak penting seburuk apa alat yang digunakan oleh pengamen, katanya dalam bahasa isyarat. Yang penting kalau suara merdu dan sesuai ketukan nada, bisnis ngamen beres.
Kamu memang tak pernah mengamen, karena ia bisu. Sehari-hari ia hanya memulung botol-botol bekas, plastik, atau pun benda yang bisa didaur-ulang dari jalan ke jalan, tong sampah ke tong sampah, kompleks ke kompleks, sudut ke sudut ... tapi ia mampu mengajariku cara-cara mengamen yang beretika.
Suatu kali menjelang usia dua puluh tahun, aku memberanikan diri menanyakan tentang asal-usulku. Toh, walau aku sudah mengarang cerita sebaik mungkin, rahasia atas realita itu sendiri selalu mengundang penasaran. Apa benar aku lahir di tong sampah?
Pagi itu, Kamu sedang menghitung recehan hasil pendapatan atas penjualan barang bekas sehari sebelumnya. Wajahnya sumringah. Aku sudah kenal dengan bahasa tubuhnya, bahasa isyaratnya, dan bahasa wajahnya, karena sudah hidup bersama selama 20 tahun. Itu uang, akan tandas dihabiskan untuk membeli nasi kucing, cukup sampai malam. Betapa kecilnya harga barang bekas. Walau kulihat Kamu seharian banyak mendapat barang, satu karung besar bekas wadah sandal Swallow, seringkali lebih daripada itu. Namun, hanya dihargai tak lebih dari dua puluh ribu rupiah. Itu pun jika tengkulak, sedang baik hati.
Kamu melihatku mengintip dari pintu ruang tengah. Ia melambai. Ia bilang, “Kemarilah, Anakku,” dengan bahasa tangan.
Aku mendekat. Dekat sekali, tapi hati terasa amat jauh sebab aku mendekat cuma ingin mendengar kebenaran dari masa lalu. Aku membantu Kamu menghitung recehan diselingi senyuman dan ia tertawa kecil menertawakan hasil pekerjaannya. Ia mengelus kepalaku. Mungkin itu tanda kalau aku boleh berbicara banyak padanya.
“Ayah, apakah aku punya seorang ibu?”
Kamu mengangguk. Tiga kali.
“Sekarang di mana?”
Ia menepuk pundakku, seakan bilang, “Kan sudah berkali-kali kukatakan.” Ia menepuk-nepuk lantai tanah, menempelkan telinga di permukaannya, mengetuk keras-keras. Kesepuluh jari tangan ia dipasangkan satu sama lain mirip pertapa, ditempelkan ke pipi kiri. Lantas, kepala Kamu dimiringkan. “Ibumu sudah mati.”
“Ayah tidak bohong?”
Kamu menggeleng penuh; sepuluh kali gelengan.
“Tapi kata teman-temanku, aku lahir di tong sampah dan bukan anak ayah. Ayah memungutku dari tempat sampah dan merawatku sampai besar. Benarkah?”
Jari telunjuk Kamu yang hitam kusam, menempel di bibirku. Seakan menghentikan kalimat yang akan kukeluarkan. Ia mendekapku erat-erat. Dadanya yang bau keringat dan baju kumuh tak tercuci selama berhari-hari membuatku menghirup aroma itu sedalam-dalamnya.
“Apa ibu bukan pelacur?”
Dekapan itu berhenti. Detak jantung itu memelan. Dan napas yang berembus di ubun-ubunku mendadak beku. Kedua tangannya yang memeluk punggungku dingin bagai es, padahal pagi sudah disinari matahari. Kamu menatap mataku lekat-lekat, mencari jawaban dari kedua mataku yang penuh tanda tanya. Tentu, tentu ia tak menemukan apa-apa.
“Apa ibu dulunya seorang pelacur jalanan?”
Kedua tangan Kamu mencengkeram pundakku, tapi sekejap saja melemah kembali. Dingin dari tubuhnya tersalur sampai ke lubuk hatiku. Inikah hubungan ayah dan anak? Begitu dingin?
“Teman-temanku berkata kalau aku lahir di tong sampah. Tapi aku tak percaya. Aku mengarang cerita sendiri kalau ibuku seorang pelacur jalanan yang kebetulan keluar, lalu menerkam Ayah. Membawa masuk dan melakukan itu-itu-itu. Ayah bikin ibu perutnya bundar sebesar telur dinosaurus. Tapi karena ibu menyadari Ayah bukan pria sempurna, lalu ibu lari meninggalkan Ayah. Telur dalam rahim ibu merekah, retak, dan lahir di pinggir jalan. Jadilah aku. Tapi aku tak tahu mengapa aku bisa kembali ke pangkuan Ayah. Apa ceritaku salah?”
Tangan Kamu mendorong dadaku. Aku pun terjerembab membentur lantai. Receh-receh uang yang semula disusun dalam bungkus plastik, ia tumpahkan kembali. Ia tabur-taburkan ke segala arah. Dan kedua mata Kamu menyala, membara seperti neraka.
Apa ceritaku benar? Apa cerita yang kukarang sama dengan yang sesungguhnya? Kamu meloncat-loncat. Ke sana kemari seperti manusia kurang waras. Ia membentur-benturkan badan ke dinding rumah kardus dan seketika rumah kami bergetar seperti hendak roboh. Kamu tak memberiku jawaban.
Kamu mengambil pisau lipat yang sehari-harinya kupakai untuk mengancam korban jambretanku. Tentu ia tak tahu kalau sehari-harinya aku pun seperti anak jalanan lain. Kalau mengamen tak mendapatkan hasil, kadang aku mencopet, menjambret, dan pernah sekali memperkosa perempuan malam di sudut gang. Aku merasa gila dengan hidup di bawah standar ekonomi. Sedangkan penghasilan Kamu dari hari ke hari hanya itu-itu saja, tak bertambah. Cuma cukup untuk makan. Sedang aku perlu rokok, atau camilan untuk hiburan nasib kehidupan sebagai anak jalanan.
Kamu berlari ke arahku, hendak menerjang dan menusukkan pisau itu ke perutku. Apakah aku telah menyinggung masa lalunya? Apakah cerita yang kukarang benar adanya?
Kamu melihatku mengintip dari pintu ruang tengah. Ia melambai. Ia bilang, “Kemarilah, Anakku,” dengan bahasa tangan.
Aku mendekat. Dekat sekali, tapi hati terasa amat jauh sebab aku mendekat cuma ingin mendengar kebenaran dari masa lalu. Aku membantu Kamu menghitung recehan diselingi senyuman dan ia tertawa kecil menertawakan hasil pekerjaannya. Ia mengelus kepalaku. Mungkin itu tanda kalau aku boleh berbicara banyak padanya.
“Ayah, apakah aku punya seorang ibu?”
Kamu mengangguk. Tiga kali.
“Sekarang di mana?”
Ia menepuk pundakku, seakan bilang, “Kan sudah berkali-kali kukatakan.” Ia menepuk-nepuk lantai tanah, menempelkan telinga di permukaannya, mengetuk keras-keras. Kesepuluh jari tangan ia dipasangkan satu sama lain mirip pertapa, ditempelkan ke pipi kiri. Lantas, kepala Kamu dimiringkan. “Ibumu sudah mati.”
“Ayah tidak bohong?”
Kamu menggeleng penuh; sepuluh kali gelengan.
“Tapi kata teman-temanku, aku lahir di tong sampah dan bukan anak ayah. Ayah memungutku dari tempat sampah dan merawatku sampai besar. Benarkah?”
Jari telunjuk Kamu yang hitam kusam, menempel di bibirku. Seakan menghentikan kalimat yang akan kukeluarkan. Ia mendekapku erat-erat. Dadanya yang bau keringat dan baju kumuh tak tercuci selama berhari-hari membuatku menghirup aroma itu sedalam-dalamnya.
“Apa ibu bukan pelacur?”
Dekapan itu berhenti. Detak jantung itu memelan. Dan napas yang berembus di ubun-ubunku mendadak beku. Kedua tangannya yang memeluk punggungku dingin bagai es, padahal pagi sudah disinari matahari. Kamu menatap mataku lekat-lekat, mencari jawaban dari kedua mataku yang penuh tanda tanya. Tentu, tentu ia tak menemukan apa-apa.
“Apa ibu dulunya seorang pelacur jalanan?”
Kedua tangan Kamu mencengkeram pundakku, tapi sekejap saja melemah kembali. Dingin dari tubuhnya tersalur sampai ke lubuk hatiku. Inikah hubungan ayah dan anak? Begitu dingin?
“Teman-temanku berkata kalau aku lahir di tong sampah. Tapi aku tak percaya. Aku mengarang cerita sendiri kalau ibuku seorang pelacur jalanan yang kebetulan keluar, lalu menerkam Ayah. Membawa masuk dan melakukan itu-itu-itu. Ayah bikin ibu perutnya bundar sebesar telur dinosaurus. Tapi karena ibu menyadari Ayah bukan pria sempurna, lalu ibu lari meninggalkan Ayah. Telur dalam rahim ibu merekah, retak, dan lahir di pinggir jalan. Jadilah aku. Tapi aku tak tahu mengapa aku bisa kembali ke pangkuan Ayah. Apa ceritaku salah?”
Tangan Kamu mendorong dadaku. Aku pun terjerembab membentur lantai. Receh-receh uang yang semula disusun dalam bungkus plastik, ia tumpahkan kembali. Ia tabur-taburkan ke segala arah. Dan kedua mata Kamu menyala, membara seperti neraka.
Apa ceritaku benar? Apa cerita yang kukarang sama dengan yang sesungguhnya? Kamu meloncat-loncat. Ke sana kemari seperti manusia kurang waras. Ia membentur-benturkan badan ke dinding rumah kardus dan seketika rumah kami bergetar seperti hendak roboh. Kamu tak memberiku jawaban.
Kamu mengambil pisau lipat yang sehari-harinya kupakai untuk mengancam korban jambretanku. Tentu ia tak tahu kalau sehari-harinya aku pun seperti anak jalanan lain. Kalau mengamen tak mendapatkan hasil, kadang aku mencopet, menjambret, dan pernah sekali memperkosa perempuan malam di sudut gang. Aku merasa gila dengan hidup di bawah standar ekonomi. Sedangkan penghasilan Kamu dari hari ke hari hanya itu-itu saja, tak bertambah. Cuma cukup untuk makan. Sedang aku perlu rokok, atau camilan untuk hiburan nasib kehidupan sebagai anak jalanan.
Kamu berlari ke arahku, hendak menerjang dan menusukkan pisau itu ke perutku. Apakah aku telah menyinggung masa lalunya? Apakah cerita yang kukarang benar adanya?
Aku pun turut berlari-berlari-berlari. Sekencang-kencangnya. Menjauhi Kamu, menjauhi rumah kardus, menjauhi terminal, toko-toko ber-etalase bening, teman-teman sepermainan-seprofesi, kendaraan-kendaraan, jalan raya, kota. Hingga pada suatu persimpangan aku menabrak sesuatu. Tapi aku terus berlari-berlari-berlari meninggalkan kehidupan ini.
***
Sampai sekarang pun aku masih belum menemukan suatu jawaban. Walau dari area yang tak kukenal ini, aku bisa melihat Kamu meratap, tapi tak bisa menangis. Hanya seperti cegukan bayi. Wajah yang hitam legam karena dibakar sinar matahari itu dibauri segenggam tanah merah sampai merah semua mukanya. Ia bersimpuh di hadapan gundukan tanah. Aku tersedak ketika aku tahu namaku terukir di papan putih itu.
Dari sebuah pintu dan lorong, muncul makhluk buas dan bertaring panjang menerkamku. Menarikku ke entah mana. Barangkali ibu ada di sekitar sini. Barangkali makhluk buas itu adalah suruhan ibu untuk mengembalikanku ke dalam pangkuannya.
Bukankah ibu sudah mati?
Tapi, mengapa aku masih tak percaya?
Sampai sekarang pun aku masih belum menemukan suatu jawaban. Walau dari area yang tak kukenal ini, aku bisa melihat Kamu meratap, tapi tak bisa menangis. Hanya seperti cegukan bayi. Wajah yang hitam legam karena dibakar sinar matahari itu dibauri segenggam tanah merah sampai merah semua mukanya. Ia bersimpuh di hadapan gundukan tanah. Aku tersedak ketika aku tahu namaku terukir di papan putih itu.
Dari sebuah pintu dan lorong, muncul makhluk buas dan bertaring panjang menerkamku. Menarikku ke entah mana. Barangkali ibu ada di sekitar sini. Barangkali makhluk buas itu adalah suruhan ibu untuk mengembalikanku ke dalam pangkuannya.
Bukankah ibu sudah mati?
Tapi, mengapa aku masih tak percaya?
Purworejo, 2016
Seto Permada, lahir tanggal 12 Oktober 1994. Sehari-harinya ia bekerja sebagai wiraswasta. Alumnus SMA Negeri 4 Purworejo. Seto aktif menulis dan mengirim cerpen ke berbagai media.