Pendidikan Karakter dalam Cerita Rakyat
Judul : Cerita Rakyat Daerah Nusantara di Sulawesi Tenggara
Penulis : Prof. Dr. La Ode Sidu Marafad, M.S. & Drs. Abdul Weas, M.Pd.
Penerbit : Pustaka Puitika, Yogyakarta
Tebal buku : 186 halaman
Cetakan pertama : Oktober, 2019
ISBN : 978-602-1621-92-9
Pendidikan di Indonesia tidak sekadar berperan membentuk kecerdasan intelektual siswa, tapi juga membentuk karakternya agar mampu berhubungan baik dengan sesama manusia dan Tuhan. Hal ini sesuai dengan tujuan dan fungsi pendidikan Nasional dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 3, bahwa pendidikan berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa. Oleh karenanya, pendidikan harus mampu mendorong terlahirnya generasi yang berakhlak mulia, beriman, dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Buku berjudul Cerita Rakyat Daerah Nusantara di Sulawesi Tenggara, merupakan kumpulan cerita rakyat yang awalnya ditulis oleh mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) dan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Halu Oleo, dari berbagai wilayah Indonesia. Untuk menjaga kelestarian budaya dan memperkaya bahan bacaan Nusantara, cerita tersebut disusun kembali oleh Prof. Dr. La Ode Sidu Marafad, M.S. & Drs. Abdul Weas, M.Pd menjadi buku Cerita Rakyat Daerah Nusantara di Sulawesi Tenggara Seri I. Buku setebal 186 halaman ini memiliki 28 judul cerita rakyat yang jenisnya terdiri dari legenda, mitos, dan fabel.
Setiap cerita tentu memiliki pesan yang ingin disampaikan kepada pembaca, begitu juga dengan cerita rakyat dalam buku ini. Seperti cerita pertama yang berjudul Asal Mula Sarung Tenun Kalisusu. Cerita ini mengisahkan pesan Lakina Lipu kepada istrinya yang sedang hamil. Sebelum merantau ia memiliki dua pesan, jika yang lahir bayi perempuan maka bayi tersebut harus dibunuh. Jika yang terlahir bayi laki-laki, maka bayi tersebut harus dibesarkan dengan baik. Sang istri menyetujui perintah tersebut dan tinggal di rumah bersama para pengawalnya. Tiba saatnya sang istri melahirkan bayi perempuan dan diberi nama Wa Ode Waginuuri. Ia dirawat dengan baik dan sang ibu memutuskan untuk mengasingkan putri tercintanya ke hutan agar selamat dari pengetahuan Sang Ayah.
Ketika sang ayah pulang, burung pipit berkicau menyebut nama Wa Ode Waginuuri. Lakina Lipu tahu istrinya berbohong dan segera memerintahkan pengawal menjemput putrinya di hutan. Wa Ode Waginuuri berkali-kali menolak pulang. Selama di hutan ia menanam kapas, memintal benang, kemudian menenunnya menjadi sarung. Setelah itu ia bersedia pulang membawa sarung yang ia tenun. Sampai di rumah, tangga rumah bukan lagi kayu, melainkan kelelawang. Sang Ayah memerintahkan Wa Ode Waginuuri menaiki tangga itu satu persatu, hingga tubuhnya terpotong dan berserakan di bawah tangga. Sang ayah yang menemukan sarung tenun di dalam potongan bambu akhirnya menyesali perbuatannya. Ia sadar menenun hanya dapat dilakukan perempuan dan Wa Ode Waginuuri merupakan perempuan yang padai membuat kain tenun.
Potongan-potongan tubuh Wa Ode Waginuuri dikumpulkan seorang nenek tua, dinyanyikannya lagu kulense-lensemori kukawe-kawe ngkaula sambil menari tarian lense hingga tubuhnya utuh kembali. Dia tidak kembali lagi ke rumahnya. Wa Ode Waginuuri memilih tinggal bersama nenek renta ini. Di sanalah meneruskan dan mengembangkan bakatnya serta menekuni keretampilannya, yakni menenun sarung (halaman 21). Hal ini mengingatkan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang sama di hadapan Tuhan. Sesungguhnya ketakwaan dan kemanfaatnnya bagi sesama manusia yang membedakan.
Selanjutnya terdapat cerita berjudul Waine-ine dan Waduka-duka yang tetap sabar dengan perlakuan ibu tirinya. O Bheka Bhe Wulawo ‘Kucing dan Tikus’ yang menceritakan kucing dan tikus. Awalnya mereka bersahabat. Keduanya menenam ubi kayu/ singkong dan ubi jalar. Tiba saat panen keduanya mengundang teman-teman lain untuk mengadakan acara tunuha, yakni memasak ubi dengan bara batu’. Caranya ialah, singkong diparut dan dimasukkan ke dalam ruas bambu. Selanjutnya dibuatkan galian untuk meletakkan kayu dan batu yang dibakar. Setelah api menyala, ruas-ruas bambu yang diisi patan ubi tadi dimasukkan pada lubang galian dengan rapi.
Malam harinya ketika semua tidur, tikus mulai beraksi memangsa tunuha. Kucing curiga dan menyelidi perilaku tikus. Akhirnya terbukti pencuri tunuha ialah tikus. Mulai pada saat itu si kucing tidak mau lagi bersahabat dengan si tikus karena ternyata si tikus tidak berlaku jujur terhadap kucing. Maka pada saat itu pula si tikus melarikan diri, Itu sebabnya, si tikus tetap takut bersua dengan kucing hingga kini (halaman 46). Cerita ini memiliki pesan untuk menjaga kejujuran dalam pertemanan. Ada pula cerita O Karambau Bhe Kasoso ‘Kerbau dan Siput’ yang mengajak kita untuk tidak sombong dengan segala kelebihan. Masih banyak cerita-cerita menarik lain yang memberi keteladanan bagi kita.
Buku berjudul Cerita Rakyat Daerah Nusantara di Sulawesi Tenggara ini disajikan dengan bahasa sederhana yang mudah dipahami. Meskipun ada beberapa bahasa daerah setempat yang kadang harus dicari maknanya, penggunaan bahasa daerah menjadi nilai lokalitas dan memberi warna tersendiri bagi buku cerita rakyat ini. Buku setebal 186 halaman ini dikemas dengan sampul berwarna hijau dan perpaduan kuning pada judulnya, yang mengesankan desain klasik. Gambar sebagai ilustrasi ditambahkan pada cerita-cerita dalam buku ini dapat mengurangi dari kelelahan membaca.
Pada setiap akhir cerita terdapat pesan moral yang ditambahkan penulis. Dengan demikian, pembaca tidak lupa untuk merenungi dan mengambil pelajaran berharga dari setiap cerita yang dibaca. Cerita yang disajikan dalam buku ini layak dibaca oleh berbagai kalangan usia. Bagi anak-anak pesan dalam cerita dapat membentuk karakternya. Bagi remaja maupun dewasa, pesan moral dalam cerita akan mengingatkan kita untuk menjaga karakter baik manusia. Tentunya membaca ataupun membacakan cerita rakyat dapat dijadikan salah satu upaya dalam melaksanakan pendidikan karakter. Dengan cerita, terbentuklah karakter baik bangsa.
Penulis : Prof. Dr. La Ode Sidu Marafad, M.S. & Drs. Abdul Weas, M.Pd.
Penerbit : Pustaka Puitika, Yogyakarta
Tebal buku : 186 halaman
Cetakan pertama : Oktober, 2019
ISBN : 978-602-1621-92-9
Pendidikan di Indonesia tidak sekadar berperan membentuk kecerdasan intelektual siswa, tapi juga membentuk karakternya agar mampu berhubungan baik dengan sesama manusia dan Tuhan. Hal ini sesuai dengan tujuan dan fungsi pendidikan Nasional dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 3, bahwa pendidikan berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa. Oleh karenanya, pendidikan harus mampu mendorong terlahirnya generasi yang berakhlak mulia, beriman, dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Buku berjudul Cerita Rakyat Daerah Nusantara di Sulawesi Tenggara, merupakan kumpulan cerita rakyat yang awalnya ditulis oleh mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) dan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Halu Oleo, dari berbagai wilayah Indonesia. Untuk menjaga kelestarian budaya dan memperkaya bahan bacaan Nusantara, cerita tersebut disusun kembali oleh Prof. Dr. La Ode Sidu Marafad, M.S. & Drs. Abdul Weas, M.Pd menjadi buku Cerita Rakyat Daerah Nusantara di Sulawesi Tenggara Seri I. Buku setebal 186 halaman ini memiliki 28 judul cerita rakyat yang jenisnya terdiri dari legenda, mitos, dan fabel.
Setiap cerita tentu memiliki pesan yang ingin disampaikan kepada pembaca, begitu juga dengan cerita rakyat dalam buku ini. Seperti cerita pertama yang berjudul Asal Mula Sarung Tenun Kalisusu. Cerita ini mengisahkan pesan Lakina Lipu kepada istrinya yang sedang hamil. Sebelum merantau ia memiliki dua pesan, jika yang lahir bayi perempuan maka bayi tersebut harus dibunuh. Jika yang terlahir bayi laki-laki, maka bayi tersebut harus dibesarkan dengan baik. Sang istri menyetujui perintah tersebut dan tinggal di rumah bersama para pengawalnya. Tiba saatnya sang istri melahirkan bayi perempuan dan diberi nama Wa Ode Waginuuri. Ia dirawat dengan baik dan sang ibu memutuskan untuk mengasingkan putri tercintanya ke hutan agar selamat dari pengetahuan Sang Ayah.
Ketika sang ayah pulang, burung pipit berkicau menyebut nama Wa Ode Waginuuri. Lakina Lipu tahu istrinya berbohong dan segera memerintahkan pengawal menjemput putrinya di hutan. Wa Ode Waginuuri berkali-kali menolak pulang. Selama di hutan ia menanam kapas, memintal benang, kemudian menenunnya menjadi sarung. Setelah itu ia bersedia pulang membawa sarung yang ia tenun. Sampai di rumah, tangga rumah bukan lagi kayu, melainkan kelelawang. Sang Ayah memerintahkan Wa Ode Waginuuri menaiki tangga itu satu persatu, hingga tubuhnya terpotong dan berserakan di bawah tangga. Sang ayah yang menemukan sarung tenun di dalam potongan bambu akhirnya menyesali perbuatannya. Ia sadar menenun hanya dapat dilakukan perempuan dan Wa Ode Waginuuri merupakan perempuan yang padai membuat kain tenun.
Potongan-potongan tubuh Wa Ode Waginuuri dikumpulkan seorang nenek tua, dinyanyikannya lagu kulense-lensemori kukawe-kawe ngkaula sambil menari tarian lense hingga tubuhnya utuh kembali. Dia tidak kembali lagi ke rumahnya. Wa Ode Waginuuri memilih tinggal bersama nenek renta ini. Di sanalah meneruskan dan mengembangkan bakatnya serta menekuni keretampilannya, yakni menenun sarung (halaman 21). Hal ini mengingatkan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang sama di hadapan Tuhan. Sesungguhnya ketakwaan dan kemanfaatnnya bagi sesama manusia yang membedakan.
Selanjutnya terdapat cerita berjudul Waine-ine dan Waduka-duka yang tetap sabar dengan perlakuan ibu tirinya. O Bheka Bhe Wulawo ‘Kucing dan Tikus’ yang menceritakan kucing dan tikus. Awalnya mereka bersahabat. Keduanya menenam ubi kayu/ singkong dan ubi jalar. Tiba saat panen keduanya mengundang teman-teman lain untuk mengadakan acara tunuha, yakni memasak ubi dengan bara batu’. Caranya ialah, singkong diparut dan dimasukkan ke dalam ruas bambu. Selanjutnya dibuatkan galian untuk meletakkan kayu dan batu yang dibakar. Setelah api menyala, ruas-ruas bambu yang diisi patan ubi tadi dimasukkan pada lubang galian dengan rapi.
Malam harinya ketika semua tidur, tikus mulai beraksi memangsa tunuha. Kucing curiga dan menyelidi perilaku tikus. Akhirnya terbukti pencuri tunuha ialah tikus. Mulai pada saat itu si kucing tidak mau lagi bersahabat dengan si tikus karena ternyata si tikus tidak berlaku jujur terhadap kucing. Maka pada saat itu pula si tikus melarikan diri, Itu sebabnya, si tikus tetap takut bersua dengan kucing hingga kini (halaman 46). Cerita ini memiliki pesan untuk menjaga kejujuran dalam pertemanan. Ada pula cerita O Karambau Bhe Kasoso ‘Kerbau dan Siput’ yang mengajak kita untuk tidak sombong dengan segala kelebihan. Masih banyak cerita-cerita menarik lain yang memberi keteladanan bagi kita.
Buku berjudul Cerita Rakyat Daerah Nusantara di Sulawesi Tenggara ini disajikan dengan bahasa sederhana yang mudah dipahami. Meskipun ada beberapa bahasa daerah setempat yang kadang harus dicari maknanya, penggunaan bahasa daerah menjadi nilai lokalitas dan memberi warna tersendiri bagi buku cerita rakyat ini. Buku setebal 186 halaman ini dikemas dengan sampul berwarna hijau dan perpaduan kuning pada judulnya, yang mengesankan desain klasik. Gambar sebagai ilustrasi ditambahkan pada cerita-cerita dalam buku ini dapat mengurangi dari kelelahan membaca.
Pada setiap akhir cerita terdapat pesan moral yang ditambahkan penulis. Dengan demikian, pembaca tidak lupa untuk merenungi dan mengambil pelajaran berharga dari setiap cerita yang dibaca. Cerita yang disajikan dalam buku ini layak dibaca oleh berbagai kalangan usia. Bagi anak-anak pesan dalam cerita dapat membentuk karakternya. Bagi remaja maupun dewasa, pesan moral dalam cerita akan mengingatkan kita untuk menjaga karakter baik manusia. Tentunya membaca ataupun membacakan cerita rakyat dapat dijadikan salah satu upaya dalam melaksanakan pendidikan karakter. Dengan cerita, terbentuklah karakter baik bangsa.
*) Imroatus Sholihah. Penulis lahir dan dibesarkan di Karanganyar, Jawa Tengah. Saat ini sedang menempuh pendidikan S1 di Program Studi Pendidikan Matematika, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Universitas Muhammadiyah Surakarta. Hobinya menulis mulai dikembangkan ketika duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA). Beberapa tulisan seperti resensi buku, essay, dan cerita pendeknya pernah dimuat di media lokal serta menjuarai lomba di tingkat lokal hingga nasional.